Vrydag 24 Mei 2013

perspektif kelompok Ikhwan As-Shafa tentang pendidikan




PERSPEKTIF IKHWAN Al-SHAFA TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
(IMPLEMENTASINYA DI PERGURUAN TINGGI ISLAM )
Oleh .Mulyadi ( 111 111 0989 )

A.       Pendahuluan
Daulah Abbasiyah merupakan salah satu Daulah yang juga merasakan puncak kemajuan Islam, yaitu pada saat pemerintahan Al-Ma’mun. Tidak sedikit keberhasilan yang dicapai oleh pemerintahannya baik itu dari segi perluasan (ekspansi) daerahnya dan kemajuan-kemajuan dibidang pengetahuan. Namun sejalan dengan kemajuan yang dicapainya, tidak sedikit kemajuan itu menimbulkan permasalahan-permasalahan internal maupun eksternal pemerintahannya, sehingga muncullah, dengan adanya pergerakan atau kelompok rahasia yang merahasiakan nama dan bentuk dari kelompok ini yaitu kelompk Ikhawan al-Shafa.
  Kentalnya perspektif keagamaan terhadap pendidikan islam dikalangan para ahli pendidikan muslim menjadi bingkai perekat pemikiran mereka secara umum. Hanya saja bingkai etik ini memang belum mampu memunculkan cara pandang yang sama dalam pola operasionalisasi pendidikan dan dalam fungsi sosialnya, sebagaimana juga belum mampu menghasilkan kesepakatan dalam penyusunan kurikulum pendidikan dan kesatuan persepsi tentang sifat dasar dan kebutuhan-kebutuhan murid.
Melihat dari beberapa realita yang ada saat ini, bahwa tidak sedikit pemikiran-pemikiran para tokoh pendidik maupun filsafat Barat maupun Muslim banyak diadopsi dan dikembangkan dibanyak perguruan tinggi. Melihat secara lebih mendalam saat ini, bahwa pemikiran-pemikiran tersebut juga sudah mulai merambah pada perguruan tinggi Islam. Seperti halnya pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa yang berkaitan tentang pendidikan. Tentunya, pemikiran mereka akan diadopsi oleh perguruan tinggi Islam. Setelah melihat Pemaparan latar belakang diatas maka pemakalah memfokuskan masalah yang akan menjadi penelitian, adapun fokus penelitiannya ialah :
1.      Bagaimana sejarah munculnya kelompok Ikhwan al-Shafa?
2.      Bagaimanakah pemikiran-pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa khususnya terhadap pendidikan Islam ?
3.      Bagaimanakah implementasian pemikiran Ikhwan al-Shafa di perguruan tinggi Islam ?
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1.      Dapat mengetahui bagaimana sejarah dari Ikhwan al-Shafa
2.      Mengetahui dan dapat memahami bagaimana pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang pendidikan
3.      Bisa menarik kesimpulan tentang pemikiran Ikhwan al-Shafa tentang Pendidikan Islam
4.      Mengetahui realita yang terjadi bahwa tidak sedikit perguruan tinggi Islam yang banyak mengadopsi dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa sehingga mempengaruhi pemikiran lulusan dari perguruan tinggi tersebut.
5.      Memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam II yang diampu oleh Dr. H. Moh. Haitami Salim. M.Ag dan asistennya SyamsulKurniawan, M.Si

B.       Sejarah Singkat Munculnya Ikhwan Al-Shafa
Berdirinya Ikhwan Al-Shafa sebagai sebuah organisasi gerakan politik keagamaan yang beranggotakan para filosof dan pemikir syiah yang didirikan pada abad ke-4 H atau 10 M dikota Basra, Baghdad. Kelompok Ikhwan al-Shafa memiliki makna yaitu saudara-saudara kemurnian atau biasa dikenal dengan persaudaraan suci. Kelompok ini juga biasa dikenal dengan sebutan singkat Ikhwanuna atau juga Auliya’ Allah.(Muhsin labib, 2005 :101)
Ada juga yang mengenal kelompok ini sebagai ikatan para pemikir (intelektual) yang menyebarkan filsafat dan sains dengan cara memadukan syariat Islam dengan filsafat Yunani.
Para sejarahwan kontemporer menyimpulkan bahwa Ikhwan al-Shafa merupakan kelompok terorganisir, terdiri dari para filosof-moralis yang beranggapan bahwa pangkal perseteruan sosial politik dan keagamaan dan etnik kesukuan dalam masa pemerintahan al-Mansur, khalifah kedua Daulah Abbasiyah.(Moh. Haitami salim dan Erwin mahrus, 2012 : 131)
Mereka berusaha keras menghilangkan ragam perselisihan yang terjadi dan menjadi suatu wadahnya ke dalam satu madzhab yang inklusif dan berpijak pada ajaran-ajaran yang disyariatkan dari semua agama dan aliran yang ada. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002 : 146)
Dalam buku Filsafat Pendidikan Islam Karangan  Moh. Haitami salim dan Erwin Mahrus, secara umum yang menjadi latar belakang munculnya kelompok rahasia, yaitu Ikhwan al-Shafa ialah dikarenakan keprihatinan terhadap pelaksanaan ajaran islam yang telah tercemar oleh ajaran-ajaran dari luar Islam, serta untuk membangkitkan kembali rasa cinta ilmu pengetahuan dikalangan umat Islam. Kelompok ini juga merahasiakan nama anggotanya dikrenakan adanya kekhawatiran akan ditindak penguasa pada waktu itu yang cenderung menindas gerakan-gerakan pemikiran yang timbul dikarenakan pada masa itu, pemerintahan menganut paham Sunni. Kelompok ini bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Isma’iliyah. (Hasyimisyah Nasution, 2001 : 36)
Dengan demikian dapat dikatan bahwa kelompok  Ikhwan al-Shafa pada kenyataannya adalah organisasi yang mempunyai tujuan-tujuan politis melakukan transformasi sosial, namun tidak melalui cara radikal revolusioner, melainkan melalui cara transformasi pola pikir masyarakat luas. Sebab, mereka sepakat bahwa fenomena kedzaliman, Otoriter dan Tirani politik tidak akan berlangsung kontinu kecuali akibat merebaknya kebodohan dan kelalaian mayoritas masyarakat. Dengan diubahnya pola pikir dan disadarkannya mayoritas masyarakat dari kebodohan dan kelalaian mereka maka kedzaliman, Otoriter dan Tirani tidak akan terwujud.
Mutahhari menyebutkan bahwa ada beberapa tokoh yang berperan penting dalam terbentuk dan berkembangnya kelompok Ikhwan al-Shafa, yaitu :
1.      Abu Hayyan at-Tauhidi
2.      Abu Sulaiman Muhammad bin Ma’syar al-Basti
3.      Abdul Hasan Ali bin Harun az-Zanjani
4.      Abu Ahmad al-Maharjani al-Ufi
5.      Zaid bin Rifa’ah
6.      Ibnu Maskawaih ar-Razi
7.      Isa bin Zar’ah (w. 398)
8.      Abul Wafa’ al-Buzjani .(Muhsin labib, 2005 :101)
Kemudian dalam sejarah Islam, kelompok Ikhwan al-Shafa tampil ekslusif dengan gerakan reformasi pendidikannya. Karena itu, mereka adalah Ta’limiyyun (bermisi pengajaran) dalam melangsungkan kegiatan keilmuan dan politiknya. Kecendrungan Ta’limiy ini, sangat tampak dalam praktek politiknya yaitu dalam pola relasi dan organisasi antar mereka berada pada penjenjangan dakwah (penyebaran misi). Penjenjangan dakwah dan aksinya meliputi empat pelapisan :
Lapisan pertama, kelompok remaja dan pemuda yang berkisar antara 15-30 tahun, kelompok usia ini pertumbuhan dan perkembangan jiwanya relatif masih selaras dengan fitrah. Mengingat kelompok usia ini berstatus murid, sepantasnya bila mereka mengikuti para guru mereka.
Lapisan kedua, kelompok orang dewasa yang berkisar usia 30-40 tahun. Kelompok ini sudah mengetahui wisdom[1] keduniaan dan sudah mampu menerima pengetahuan melalui “simbol”. Pada tingkatan ini mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang dan siap berkorban demi persaudaraan.
Lapisan ketiga, kelompok individu yang berkisar usia 40-50 tahun. Mereka sudah dapat mengetahui namus ilahiy (malaikat Tuhan) secara sempurna sesuai dengan tingkatan mereka. Ini adalah tingkatan para Nabi. Apabila seseorang mendekati usia 50 tahunan, ia meningkat ketingkatan yang lebih tinggi (keempat, peny) yang memungkinkannya menyaksikan realitas hakiki segala sesuatu, seperti halnya yang dimiliki para Malaikat terdekat (muqarrabun).
Lapisan ke empat, adalah tingkatan tertinggi setelah seseorang mencapai usia 50 tahun keatas. Mereka pada tingkatan ini sudah mampu memahami hakikat sesuatu, seperti halnya malaikat al-Muqarrabun,sehingga mereka sudah berada diatas alam realitas, syariat dan wahyu. (Hasyimisyah Nasution, 2001 : 45-46)



 















              Skema pelapisan / penjenjangan anggota
Gambar 1.1

Dalam pola klasifikasi lain tentang jenjang dakwah kelompok Ikhwan al-Shafa, terbagi menjadi :
1.      Al-Abrar al-Ruhaham’(yang baik-pengasih), yaitu anggota kelompok yang berusia 15 tahunan. Mereka mempunyai karakteristik jernih jiwa, murah hati manis kata dan cepat paham.
2.      Al-Akhyar al-Ruhama’ (yang terpilih mulia), yaitu anggota kelompok yang berusia 30 tahunan. Mereka bercirikan concern[2] terhadap Ikhwan, murah hati, lembut, santun dan peduli pada Ikhwan.
3.      Al-Fudlala’ al-Kiram (yang mulia-terhormat), yaitu anggota kelompok yang berusia 40 tahunan. Mereka ini bercirikan otoriatif, direktif dan pemersatu atas pertentangan yang ada dengan cara bijak, santun dan rekonstruktif.
4.      Al-Balighun malakutallahi (yang telah mencapai malakut Allah), yaitu anggota kelompok yang berusia 50 tahunan. Mereka ini bercirikan kepasrahan total, keteguhan jiwa dan penyaksisan langsung kebenaran. (Muhammad Jawwad Ridla, 147 : 2002)
Ada keistimewaan yang dimiliki oleh kelompok Ikhwan al-Shafa, yaitu mereka menolak fanatisme[3] dan berpegang teguh pada kebebasan berpikir kritis untuk mencari kebenaran. Mereka menyeru kepada para anggota agar tidak mengabaikan satu disiplin keilmuanpun, tidak bersikap antipati[4] terhadap satu kitab pun, atau bersikap fanatic buta tehadap mazdhab tertentu. Dengan penentangan total terhadap fanatisme buta dan penerimaan penuh terhadap keterbukaan dan kebebasan intelektual, mereka mampu mempengaruhi generasi kurunnya untuk memahami keragaman dan perbedaan pemikiran, serta pluralitas aliran pemikiran dalam pengembangan dinamika keilmuan dan akselarasi (laju perubahan percepat) derap langkah kemajuan intlektual-sosialnya.
Kelompok Ikhwan al-Shafa mampu memerankan fungsi strategis dalam sejarah gerakan pemikiran Islam dan memberikan pengaruh positif yang nyata terhadapnya, bahkan para sejarawan kontemporer pun mengakui kontribusi besar yang telah diberikan kelompok ini dalam memacu perkembangan pemikiran Islam yaitu,  berupa :
1.      Totalitas kelompok Ikhwan dalam mengabdi untuk kehidupan intelektual diabad keempat hijriah, hingga merekalah yang paling lantang dan fasih berbicara tentang masalah ini
2.      Perintisan program penyusunan karya ensiklopedia pemikiran keislaman, yaitu dengan risalah-risalah popular mereka
3.      Pencerdasan dan pencerahan masyarakat luas melalui program pengajaran aneka ragam ilmu dan filsafat.
Tatkala ketika itu, kekhalifahan Abbasiyah menggunakan mazhab Syiah dalam pemerintahannya, otomatis mempengaruhi keperyaan mazhab yang dianut oleh mayoritas penduduknya, dengan demikian akan membuat semakin sempit gerakan dari kelompok Ikhwan al-Shafa untuk menyebarkan ajarannya yaitu berupa aliran yang dianut oleh aliran Mu’tazilah pada saat itu. Namun, kelompok ini tetap memunculkan dirinya meski tetap mempertahankan kerahasiaan gerakannya.

C.       Perspektif Kelompok Ikhwan Al-Shafa Tentang Pendidikan Islam
Pendidikan tidak akan pernah terlepas dari ranah berpikirnya filsafat, oleh karena itu dalam pola Dimensi respon yang dikemukan oleh para pemikir Muslim memiliki tiga ranah yang biasa kita pahami yaitu:
1.  Fundamentalisme (memisahkan antara satu dengan yang lain dari pemikiran barat dan timur)


 








Gambar 1.2
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Fundamentalisme dimakanai ialah penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yg asli seperti yang tersurat di dalam  kitab suci[5]. Artinya ialah dalam faham ini, ada unsur ingin memisahkan antara faham dari timur dan barat. Dalam faham ini, pemikiran dari Barat dan Islam tidak akan bisa berjalan secara bersama dikarenakan berlainan tujuan. Tujuan yang dimaksud ialah tujuan dari pemikiran Barat ialah ketenangan di dunia, dan sedangkan pemikiran dari Islam ialah tidak hanya ketentram di dunia yang ingin didapat melainkan ketentraman dan keselamatan dunia dan akhirat juga menjadi tujuan akhir merka. Oleh karena itu, faham dari mereka tidak bisa dikolaborasikan. Faham Barat tetap pada pendirian mereka dan begitu juga faham dari pemikiran Islam juga dipertahankan (Al-Quran dan hadis).
2.      Moderat (Seimbang)






 








Gambar 1.3
Faham pemikiran yang masuk dalam ranah moderat ialah bagaimana respon dari para pemikir Muslim yang tidak mendominasikan pada ranah satu sisi saja seperti Islam maupun Barat, namun mereka berpikiran bahwa ranahnya melihat dari dua belah sisi yaitu Islam dan barat. Nah, ini artinya para pemikir yang dimaksud didalam ini ialah mereka berpikiran secara seimbangan tidak hanya memihak pada satu sisi dimensi saja. Dalam KBBI Moderat dimaknai ialah selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yg ekstrem dan berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.  Dalam hal ini, Dimensi Moderat diklasiyaitu
a.      Moderat Fundamental
      Terkait dalam hal ini, dimensi ranah pemikiran berangkat dari ketidak memihakkan pada satu dimensi saja melainkan melihat ranah manfaat pada saat berlangsungnya sebuah proses. Ada kalanya harus menanamkan dimensi pemikiran moderat dan adakalanya memrlukan penanaman dimensi Fundamentalisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa dimensi moderat fundamental ini ditanamkan pada saat ranah manfaat suatu proses atau biasa kita maknai sebagai sesuai dengan situasi dan kondisi. Artinya bisa saja dimensi pemikirannya meranah kepada moderat dan bisa saja pada ranah dimensi fundamental.
b.      Moderat Sekuler
           Merupakan dimensi yang ranah berpikirnya lebih kepada menanamkan kepada pemikiran yang menyeimbangkan antara pemikiran Barat dan Islam. Dalam KBBI moderat Sekuler dimaknai ialah menyeimbangkan antara unsur yang bersifat duniawi atau kebendaan (Filsafat Barat) dengan yang bersifat keagamaan atau kerohanian (Islam).
3.  Sekuler / Liberal (Pengkolaborasian)
Dalam dimensi ini, ranah berpikirnya lebih kepada penanam minde side bahwa Islam sudah pasti ada unsur terkait dalam pemikiran Barat begitu juga pemikiran Barat. Dalam KBBI mendefinisikan bahwa

 












Gambar 1.4

paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.
Tentunya, jika kita lihat pola dimensi respon yang ada pada ranah pemikiran itu memiliki tiga dimensi. Sejalan dalam hal itu, tentunya banyak para pemikir dari abad kesekian hingga ke abad 20 ini, menyuarakan secara lantang berkaitan dengan sebuah Integrasi. Terkait dalam hal tersebut, penulis akan mengklasifikasikan bentuk integrasi antara filsafat (Yunani/ Barat) dengan Islam yang ada hingga sampai saat ini yaitu sebagai beriktu :
1.      Integrasi penyekat / pembatas


 














Gambar 1.5

Dari gambar diatas, bahwa integrasi atau penyatuan ilmu filsafat Yunani dan Islam secara keseluruhan berusaha untuk disatukan namun masih tetap ada pembeda antara keduanya. Seperti halnya antara air dan minyak walaupun mereka meiliki unsur yang sama namun tetap mereka tidak akan bisa menyatu secara utuh atau sempurna. Dengan demikian, dalam bentuk integrasi ini, antara filsafat Yunani dan islam(Timur) tetap disatukan namun tetap ada unsur pembeda atau penyekat dalam pengintegrasiannya yang diimplementasikan pada ranah dunia pendidikan.
2.     Integrasi kolaborasi /penyatuan secara keseluruhan


Can: Filsafat Yunani
&
Fisafat Islam
 









Gambar 1.6
Dalam hal ini, integrasi kolaborasi ialah menyatukan filsafat Yunani dan Islam menjadi satu kesatuan yang padu sebagai mana satu sama lainnya saling melengkapi dan tetap berpegang teguh pada landasan agama Islam yaitu Al-Quran dan Hadis dan tidak ada unsur untuk mendominasikan satu cabang saja.
Terkait dalam hal ini, tentu pemikiran-pemikiran tokoh abad dulu hingga sekarang membawa dampak yang besar dalam perkembangan pemikiran. Oleh karena itu, berbicara tentang sebuah pemikiran, maka penulis akan memaparkan tentang pemikiran dari sebuah kelompok yaitu Ikhwan al-Shafa, yang pada awal munculnya kelompok ini yang alirannya sama dengan aliran Mu’tazilah, dikarenakan berbagai faktor diantaranya ialah karena kondisi politik pada saat itu yang melanda kekhalifahan Abbasiyah dan adanya keinginan dari golongan filsuf yang hendak menyebarkan  filsafat dan sains dengan cara memadukan antara ajaran syariat Islam dengan filsafat Yunani.
Dengan beberapa hal yang menjadi faktor munculnya kelompok ini, maka kelompok ini tentunya memiliki pandangan tentang bagaimana pendidikan itu dilaksanakan.Terkait dalam hal itu, kelompok ini mengemukan pandangan mereka terhadap pendidikan. Adapun yang menjadi ranah perspektif mereka yaitu :
1.         Pendidikan
Menurut Kihajar Dewantoro yang dikutip dalam buku Studi Ilmu Pendidikan Islam karangan Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, mendefinisikan  pendidikan ialah tuntutan segala kakuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Selaras dengan pendapat dari kelompok Ikhwan al-Ashafa bahwa aktivitas pendidikan itu dimulai sejak sebelum kelahiran. Sebab, kondisi diri bayi dan perkembangannya sudah dipengaruhi oleh keadaan kehamilan dan kesehatan sang ibu yang hamil. Dengan demikian, perhatian pendidikan harus sudah harus diberikan sejak masa janin dalam rahim, karena janin berada dalam rahim selama Sembilan bulan sepuluh hari itu, adalah agar sempurna bentuk dan kejadiannya.Hal ini, dimaksudkan agar memberi pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan kejiwaan janin. Maka dari itu, kelompok ini menuntut para orang tua, pengasuh  dan pendidik untuk memahami watak dan perkembangan inderawi anak serta tahapan-tahapannya.
Penetapan adanya hubungan antara pengetahuan intelektual (kognisi) dengan dasar-dasar fisologis membukakan jalan bagi kelompok Ikhwan al-Shafa untuk memformulasikan teori yang kokoh tentang mekanisme terbentuknya pengetahuan intelektual atau konsep dan dampak induksi terhadapnya.Kelompok ini berpendapat bahwa para filosof berpikir tentang segala yang ada (al-maujudat), pada awal mulanya mereka mengamati person-person seperti Zaid, Umar dan Khalid. Lalu mereka memikirkan person-person lain yang belum mereka amati, yang di masa yang telah lalu maupun di masa yang akan datang.
Ikhwan al-Shafa memandang bahwa ilmudiperoleh melalui dua cara yaitu Pertama, menggunakan panca indera terhadap obyek alam semesta yang bersifat empirik. Kedua, menggunakan informasi atau berita yang disampaikan orang lain. Cara kedua ini hanya dapat dicapai oleh manusia dan tidak dapat dicapai oleh binatang. Kesadaran kuat dari kelompok ini, terhadap urgensi indera dalam memperoleh pengetahuan dan imperasinya dalam keberadaan manusia, baik dataran empiris sensual maupun empiris logis, membawa mereka pada pengapresiasian peran dan fungsi fisik jasmaniah untuk kebahagian manusia dan kenormalan hidupnya.
Totalitas pendidikan merupakan aktivitas moral, mereka menyebutnya dengan al-siyasah al-nafsiyyah, agar moralmu menjadi baik, kebiasaanmu menjadi positif dan tindakanmu menjadi lurus , mau menyampaikan amanat kepada yang berhak, pandai mengendalikan diri, menghormati hak orang lain maka ini adalah ke- nifaq-an.Kelompok ini sangat mengutamakan pendidikan dan pengajaran dan berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa dan akidah (avektif).
Dalam firman Allah SWT, Q.S. An-Nahal (16) : 78
Description: G:\a078.pngArtinya,
“ dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan dia memberi kamu pendengaran, pengelihatan dan hati, agar kamu bersyukur.”
Dari konteks teks di atas Ikhwan al-Shafa, menafsirkannya bahwa manusia maupun binatang itu dilahirkan kedunia tanpa mengetahui sedikitpun tentang sesuatu melainkan Allah memberikan panca indera untuk dipergunakan sebagai alat media untuk mencari ilmu dan mendapatkan ilmu serta mengaplikasiannya di kehidupan.Kelompok ini berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu diperoleh haruslah dengan usaha. Usaha yang dimaksud ialah dengan cara membiasakan berpegang pada pembiasaan dan perenungan. Kelompok ini berpendapat, “ hendaknya diketahui bahwa pembiasaan dan latihan itu harus dilakukan secara kontinyu, dan dari pembiasaan ini akan dihasilkan akhlak yang kokoh.
2.      Tujuan Pendidikan
Ikhwan al-Shafa mengawali pengkajiannya dengan merumuskan tujuan-tujuan individual dan sosial yang akan direalisasikan melalui aktivitas pendidikan.Dalam hal ini, Ikhwan al-Shaffah memberikan porsi lebih besar terhadap tujuan sosial dibandingkan dengan tujuan individual. Ikhwan al-Sahfa, berpendapat bahwa ilmuwan yang paling membahayakan ialah apabila ditanya tentang hal yang telah menggejala dan mapan ditengah-tengah dimasyarakat luas tidak bisa memberikan jawaban (solusi) yang baik dan kritis, melainkan justru larut dalam kesalahan, penyimpangan dan kebodohan mereka dan asyik menulis karya-karya “manipulatif yang menghantam para pakar (ulama’) dan filsuf. Misalnya penyongkongan terhadap pendapat bahwa ilmu mantik dan ilmu fisika merupakan bentuk kekufuran dan pakar dibidang ilmu-ilmu dipandang atheis. Setelah itu, tanggapan kritis yang merusak itu mereka tulis dan dikemas dalam lembaran-lembaran buku.
Berangkat dari kerangka pemikiran demikian, Ikhwan al-Shafa, mengkonsepsikan ilmu bukan sebagai sesuatu yang mengandung tujuan dalam dirinya sendiri, seperti yang telah dikonsepsi beberapa kalangan. Menurut Ikhawan al-Shafa, ilmu itu harus difungsikan untuk pelayanan tujuan luhur kependidikan yaitu pengenalan diri.  Perlu diingat, keharusan manusia mengenali dirinya sendiri bukanlah suatu tujuan akhir melainkan hanya sebagai sarana perantara menuju kesamaan dan keluhuran manusia secara umum sebab, tujuan tertinggi pendidikan menurut Ikhan al-Shafa ialah peningkatan harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci, agar dapat meraih ridha Allah. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002: 151-152)
Hal ini hanya bisa direalisasikan dengan komitmen seseorang terhadap perilaku moral, sehingga ia sanggup mencapai puncak atas harkat kemanusiaan yang mendekati tingkatan malaikat dan mendekatkan  diri ke haribaan Allah.  Dengan demikian, tujuan pendidikan yang dipaparkan menurut kelompok Ikhwan al-Shafa, tujuan pendidikan itu bukan hanya bertitik tolak pada bagaimana manusia bisa mengenali dirinya sendiri dan menjadi suatu tujuan akhir dari proses pendidikan itu, melainkan terpusat pada peningkatan manusia sebagai hamba Allah yang mengabdi  dan berbakti pada-Nya untuk memperoleh keridhaa Allah SWT. Artinya konsep tujuan pendidikan yang diterapkan oleh Ikhwan al-Shafa ini ialah lebih memperhatikan pada aspek afektif dan psikomotoriknya dan aspek  kognitif memiliki porsi ketiga dari ketiga aspek lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan pendidikan yang dimaksudkan oleh kelompok Ikhwan al-Shafa sejalan dengan konsep tujuan pendidikan Islam, yaitu terbentuknya kepribadian yang utama berdasarkan pada nilai-nilai dan ukuran ajaran Islam dan dinilai bahwa setiap upaya yang menuju kepada proses pencarian ilmu dikategorikan sebagai upaya perjuangan dijalan Allah. (Moh.Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, 2009 :77)
3.      Pendidik
Kelompok Ikhwan al-Shafa, menempatkan pendidik (guru) pada posisi strategis dan inti dalam kegiatan pendidikan. Mereka mempersyaratkan kecerdasan, kedewasaan, kelurusan moral, ketulusan hati, kejernihan pikir, etos keilmuan dan tidak fanatik  buta pada diri pendidik.
Ikhwan al-Shafa menganggap bahwa mendidik sama dengan menjalankan fungsi “bapak” kedua, karena pendidik atau guru merupakan bapak bagi dirimu, pemelihara pertumbuhan dan perkembangan jiwamu sebagaimana halnya kedua orang tuamu adalah ‘pembentuk’ rupa fisik biologismu maka guru,’membentuk’ rupa mental rohaniahmu. (Muhammad Jawwad Ridla, 2002: 169), Sebab pendidik telah menyuapi jiwamu dengan ragam pengetahuan dan membimbingnya kejalan keselamatan dan keabadian, seperti apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tuamu yang menyebabkan tubuhmu terlahir kedunia, mengasuhmu dan mengajarimu mencari nafkah hidup di dunia fana.Menyangkut kualitas dari seorang pendidik, kelompok ini berpandangan bahwa kualitas itu tergantung dari bagaimana caranya menyampaikan ilmu pengetahuan. Keberhasilan dakwah dan pendidikan sangat tergantung kepada pendidik yang cerdas, baik akhlaknya, lurus tabiatnya, bersih hatinya, menyukai ilmu, bertugas mencari kebenaran dan tidak bersifat fanatisme terhadap sesuatu.
Terkait dalam hal ini, kelompok ini juga merumuskan jenjang seorang pendidik yang oleh istilah mereka disebut dengan nama Ashab al-Namus. Mereka ialah Mu’allim, Ustadz dan muaddib.
4.      Konsep Tentang manusia
Kelompok Ikhwan al-Shafa memiliki pandangan “ dualistik[6], tentang konsep dasar manusia. Mereka membuat formulasi konseptual atas pandangan moral-etik tentang manusia.Menurut konsep kelompok Ikhwan al-Shafa, sekiranya manusia itu tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah, maka sejatinya kedua unsur tersebut memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisinya, namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya.Karena unsur fisik biologisnya manusia berkecenderungan untuk kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan karena unsur jiwa-rohaniahnya manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan kesalamatan disana.
Walaupun demikian, pandangan “dualistik” tentang manusia menurut Ikhwan al-Shafa tidaklah bersifat liberal, melainkan dibatasi oleh pengakuan akan ragam potensi individual yang unik, antara satu orang dengan orang lainnya berbeda. Mereka berpandangan meskipun “watak dasar” setiap individu bersifat genetik bawaan, namun kecenderungan-kecenderungan yang dimilikinya bersifat ikhtiyariyyat (hasil berinteraksi dengan lingkungan), sehingga terjadi keragaman antara individu. Oleh karena itu, ada individu yang lebih berbakat berwirausaha, ada yang lebih berbakat dalam dunia keilmuan dan lain-lain.
Ikhwan al-Shafa secara halus mencuatkan pengakuan mereka tentang ragam potensi psikomotorik, kognitif dan afektif pada masing-masing individu.Mereka menganggap kehidupan sosial bersama ibarat tatanan (sistem) funsional-komplementer, dimana tiap-tiap potensi genetic bawaan yang dimiliki manusia merupakan alat-alat sistemik (sub-sub sistem) yang berfungsi spesifik demi tegaknya sebuah tatanan tersebut.Namun, tidak diragukan bahwa fungsi-fungsi spiritual berada pada hirarki paling atas dan mulia dibanding fungsi-fungsi lainnya.
5.      Epistemologi Ikwan al-Shafa
Ikwan al-Shafa mempunyai pendapat yang berbeda mengenai teori pengetahuan plato yang menyatakan bahwa jiwa “mengetahui” dengan mengingat ulang apa yang telah diperolehnya sewaktu berada dalam alam dunia ide, sebelum turun kebumi. Pada saat jiwa berpindah dari alam ide yang bersifat rohaniah yang menuju alam material, ia lupa akan pengetahuan yang dulu dimiliknya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang dipelajarinya (dialam material) sebenarnya hanya bersifat mengingat-ulang pengetahuan yang dulu pernah dimilikinya (di alam ide). Berbeda dengan pandangan dari kelompok Ikhwan al-Shafa, mereka menganggap bahwa semua pengetahuan berpangkal pada cerapan inderawiyah.
Berangka dari teori empiris realistik itu, Ikhwan al-Shafa merumuskan rasio, “sesungguhnya rasio manusia tiada lain hanyalah jiwa yang berpikir(al-nafs al-natiqah), dikala manusia berada dalam usia dewasa. Jiwa pada waktu awal bersatu dengan badan, yaitu periode janin dalam rahim, adalah sesuatu yang amat sederhaana, tidak berpengetahuan, tidak berakhlak, tidak berpihak dan tidak beraliran, sebagaimana firmankan Allah, ‘Allah yang telah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apapun’. Ia hanyalah suatu substansi rohaniah yang hidup dan mempunyai potensi berkembang. Sewaktu jiwa mendapatkan “impresi[7]” dan “stimuli” inderawiyah sensual dengan ragam jenis dan macamnya, lalu dieksperimentasikan. Dengan demikian, jiwa disebut sebagai berakal dan mengetahui secara aktual” . (Muhammad Jawwad Ridla, 2002 : 158-159)
Terkait dengan epistemologi atau pengetahuan, kelompok Ikhwan al-Shaffah memiliki karya dintaranya sebagai berikut sesuai dengan yang dikemukakan oleh marguet dengan judul Para Filosof karangan Muhsin labib, bahwa Rasa’il Ikhwan ash-shafa wa khullat al-wafa (surat-surat Ikhwan al-Shaffah dan khulat al-wafa). Kandungan risalah ini meliputi pemikiran filsafat dan sains, terdiri dari 52 naskah, disusun menjadi empat kelompok.
1.      Tentang matematika, yang terdiri dari 14 naskah, meliputi
a.      Geometri
b.      Atronomi
c.       Musik
d.     Geografi
e.      Seni teoritis
f.        Seni praktis
g.      Moral
h.      Logika
2.      Tentang ilmu alam dan fisika yang terdiri dari 17 naskah, meliputi
a.      Fisika
b.      Mineralogi botani
c.       Alam kehidupan
d.     Alam kematian
e.      Batas-batas kemampuan pemahaman manusia
3.      Ilmu sains tentang pemikiran dan psikologis, terdiri dari 10 naskah yang meliputi
a.      Metafisika
b.      Pemikiran tentang waktu
c.       Tabiat cinta
d.     Tabiat kebangkitan kembali dihari kiamat
4.      Ilmu tentang agamadan ketuhanan, terdiri dari 11 naskah yang meliputi :
a.      Keimanan
b.      Upacara ritual
c.       Aturan hubungan manusia dengan Tuhan
d.     Upacara-upacara Ikhwan al-Shaffah
e.      Ramalan dan keadaan mereka
f.        Entitas (perwujudan) spiritual Tindakan(aksi)
g.      Tipe perundangan politik
h.       Takdir
i.        ilmu gaib
j.        azimat
Sebagian besar pemikiran kelompok ini ialah bersifat liberal, meski tetap ingin memadukannya dengan Islam.
Teks risalah ini terbit secara lengkap pertama kali tahun 1305-1306 H (1887-1889 M) di Bombay, tahun 1928 di Kairo yang telah diedit oleh Zikrili, kemudian pada tahun 1957 di terbitkan di Beirut.
Pemikiran kelompok ini yang menonjol ialah di bidang filsafat. Mereka memandang bahwa syariat hanya cocok untuk orang awam, bagaikan obat-obatan untuk jiwa yang lemah dan sakit. Pengaruh risalah merka cukup besar dalam kelanjutan transformasi silsafat Yunani kedunia Islam, meskipun mendapatkan reaksi cukup keras dari golongan agama.Termasuk juga dari kelompok teolog (mutakalimin) yang menolak penakwilan al-Quran dan hadis. Bahkan kalangan filsuf sendiri memandang filsafat yang dikembangkan mereka itu aneh dan hanya cocok untuk orang awam.

D.      Implementasi Pemikiran Kelompok Ikhwan al-Shafa di Perguruan Tinggi Islam
Dalam sub judul ini, penulis ingin menguraikan beberapa hal yang terkait pada implementasi dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa di Perguruan Tinggi Islam.
Perguruan tinggi merupakan salah satu wadah tempat yaitu sebagai proses pendidikan berlangsung (formal) yang didalamnya memiliki unsur yang tersistem, yaitu ada pendidik (Dosen), peserta didik (Mahasiswa), tujuan pendidikan, silabus dan lain sebagainya yang didalamnya saling memberikan kontribusi untuk mewujudkan tujuan pendidikan yang baik sesuai dengan apa yang menjadi cita-cita pendidikan yaitu perubahan yang lebih baik terkait pada suatu peradaban.
Realita yang ada saat ini ialah hampir semua perguruan tinggi Islam di Indonesia menerapkan materi ajarnya sebagian besar ialah tentang ilmu keislaman. Sudah barang tentu kiranya, perguruan tinggi Islam mendominasikan kegiatan pendidikannya beranah pada pendidikan Islam. Dengan demikian, perguruan tinggi Islam tersebut menempatkan materi ajar tentang materi ajar pada level utama. Salah satunya ialah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, yang kurang lebih 65% materi ajarnya beranah pada pembahasan tentang ilmu keIslaman. Terkait dalam hal ini, penulis akan mengulas hasil penelitian terhadap perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia yang fokus penelitiannya pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak, mengenai implementasi dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa terkait tentang pendidikan Islam.
Perlu kita ketahui bahwa, pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa memandang bahwa pendidikan sangatlah penting untuk dilaksanakan, karena dengan pendidikan akan merubah seseorang (peserta didik), masyarakat, bangsa, Negara dan dunia bahkan beberapa peradaban selanjutnya. Bahkan kelompok Ikhwan al-Shafa memiliki konsep dimulainya proses pendidikan itu sejak manusia masih menjadi janin didalam kandungan ibunya, dan kelompok Ikhwan al-Shafa menekankan bahwa, seorang ibu itu diharuskan menjaga janinnya dengan baik melalui mengatur pola makan, tidur dan aktifitas sehari-hari agar tidak menganggu perkembangan janin yang ada didalam kandungannya. Dengan menjaganya dengan baik maka janin akan tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga melahirkan anak manusia yang sehat jasmani dan rohani ( normal, sehat dan aktif).
Terkait dalam hal ini mengenai pendidikan, kelompok Ikhwan al-Shafa berpandangan bahwa antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan keIslaman tidaklah dapat dilakukan pemisahan (dikotomi), artinya mereka tidak memisahkan kedua ilmu pengetahuan tersebut melainkan mengkolaborasikan(integrasikan) antara keduanya dengan tetap berpegang teguh pada landasan pendidikan (ideal) yaitu al-Quran dan hadis serta pemikiran dari para tokoh.
Berangkat dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa secara garis besar yang penulis paparkan diatas, boleh kiranya melihat realita yang ada bahwa banyak di perguruan tinggi Islam yang mengadopsi dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa, salah satunya ialah STAIN Pontianak.
STAIN Pontianak merupakan satu-satunya perguruan tinggi Islam di Provinsi Kalimantan Barat yang menyandang status Negeri, yang tidak beberapa bulan lagi akan alih statusnya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Khatulistiwa Pontianak.
Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa di STAIN Pontianak, adalah salah satu dari beberapa perguruan tinggi Islam yang mencirikan dari pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa, dengan pembuktian sebagai berikut :
1.      Visi dan Misi STAIN Pontianak
“Visi Sekolah Tinggi adalah sebagai pusat kajian, pengembangan dan pengamalan ajaran Islam serta budaya lokal.
1)      Melaksanakan pendidikan dan pengajaran dalam bidang ilmu ilmu keislaman, teknologi dan seni yang bernafaskan Islam secara proporsional, profesional dan bertanggung jawab.
2)      Mengembangkan ilmu-ilmu keislaman, teknologi dan seni-seni yang bernafaskan Islam melalui penelitian, diskusi dan karya ilmiah.
3)      Mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam dengan prinsip keteladanan.
4)      Mensyiarkan nilai-nilai ajaran Islam dan ikut menyelesaikan masalah-masalah kemasyarakatan melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat.
5)      Menggali dan mengembangkan budaya lokal sebagai khazanah budaya Islam.
Seyogyanya visi dan misi dari STAIN Pontianak, sejalan dari salah satu pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa yang berkaitan dengan pendidikan dan tujuan dari pendidikan yaitu mereka memandang bahwa pendidikan itu merupakan aktivitas moral, dengan mementingkan pengajaran yang berkenaan dengan pembentukan pribadi, jiwa dan akidah serta sikap (afektif) serta peningkatan harkat manusia kepada tingkatan yang lebih baik agar dapat meraih ridha Allah Swt. Dan tujuan pendidikan yang mereka paparkan bahwa sebenarnya tujuan pendidikan itu ada dua konsep yaitu individual dan sosial, berkenaan dengan hal itu, tujuan sosiallah yang menurut mereka yang harus paling utama diperhatikan setelah itu individual, Karena terkait dengan keummatan. Dari hal tersebut dapat diambil garis besarnya bahwa STAIN Pontianak, bercirikan salah satu dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa.
2.      Penyusunan Materi Ajar
Berdasarkan realita yang telah penulis lalui dan dari hasil dialog bersama mahasiswa semester 2 dan 8 bahwa, matakuliah mereka diatur sedemikian rupa oleh pihak lembaga terkait untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, pada semester 2 salah satu matakuliah yang diwajibkan ialah Filsafat Umum, yang substansi pembahasannya  berkisar kepada pemikiran dari para tokoh filsafat Barat atau Yunani. Pada matakuliah filsafat umum, peserta didik(mahasiswa) diharuskan dapat memahami pemikiran-pemikiran dari para tokoh filsafat Yunani tersebut, seperti Socrates dengan teorinya Dialektika, Plato dengan teorinya Idealisme, dan Aristoteles dengan teorinya tentang Rasionalisme.
Kemudian disemester tiga, mahasiswa juga diwajibkan mengikuti matakuliah Ilmu Pendidikan Islam (IPI) sebagaimana substansi dari pembahasannya ialah mengkolaborasikan atau mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan keIslaman, dengan pembukti banyak sekali mengadopsi pendapat dari para tokoh Yunani yaitu seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles serta lain sebagainya. Kemudian ilmu keIslaman dengan banyak mengadopsi dari pemikiran dari para tokoh muslim, seperti al-Syaibani, M. Athiyah al-Abrasyi dan  an-Nahlawi. Dengan tidak melepaskan  dasar atau landasan pendidikan yaitu al-Quran dan Hadis.
Selanjutnya pada semester empat, dari pihak lembaga yang terkait yaitu Program Studi (PRODI) mewajibkan peserta didiknya (mahasiswa) untuk mengikuti matakuliah Filsafat Pendidikan Islam (FPI), sebagaimana substansi pembahasannya ialah perspektif-perspektif berkaitan tentang pendidikan, tujuan, hakikat manusia dan ilmu kajian  tentang pendidikan serta lain sebagainya.
Dengan demikian dari tiga contoh matakuliah yang dipaparkan diatas, yaitu Filsafat Umum, Ilmu Pendidikan Islam dan Filsafat Pendidikan Islam (FPI) kiranya dapatlah ditarik garis besar bahwa adanya pengintegrasian antara ilmu yang bersifat pengadopsian dari Barat dan Islam.
3.      Pendidik
Berangkat dari sebuah konsep tujuan pendidikan, sebenarnya pendidik itu memiliki peran penting dalam proses pendidikan karena pendidik dituntut untuk dapat “MERUBAH” peserta didik untuk lebih baik. Dengan tetap menanamkan tiga aspek pendidikan yaitu Afektif, Psikomotorik dan Kognitif, dengan berlandaskan pada al-Quran dan hadis serta pemikiran dari para tokoh.
Dalam UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS menyebutkan bahwa, pendidik ialah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong bejar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lainnyayang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.
Berkaca kembali pada sebuah realita yang ada, bahwa penulis sepakat bahwa para pendidik (Dosen) di perguruan tinggi Islam saat dulu dan sekarang sejalan dengan konsep pemikiran yang dikemukakan oleh kelompok Ikhwan al-Shafa yaitu bahwa seorang pendidik harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :
1.      Cerdas
2.      Memiliki sikap dan sifat kedewasaan
3.      Moral yang baik
4.      Ketulusan hati
5.      Kejernihan pemikiran
6.      Etos keilmuan
7.      Tidak fanatik
Diperguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak hampir semua pendidik (Dosen) sudah memenuhi syarat menjadi pendidik dari konsepnya kelompok Ikhwan al-Shafa. Dari pendidik yang ada di perguruan tinggi ini, penulis memandang bahwa sebagian besar pendidik yang ada di STAIN Pontianak sudah memenuhi kualifikasi pendidik sesuai dengan apa yang ada dalam konsep Ikhwan al-Shafa, meski tidak ingin menyebutkannya secara terperinci.
 Sudah barang tentu kiranya mereka telah memenuhi syarat yang dimaksudkan oleh kelompok Ikhwan al-Shafa yaitu cerdas, memiliki sikap dan sifat kedewasaan, moral yang baik, ketulusan hati, kejernihan pemikiran, etos keilmuan dan tidak fanatik terhadap ilmu yang berkembang. Seperti halnya pada matakuliah IPI, seringkali materi ajarnya itu banyak mengadopsi pendapat dari para tokoh Barat dan Muslim . Seperti dalam pembahasan perumusan tentang hakikat pendidikan Islam, tujuan, pendidik, peserta didik dan komponen pendidikan lainnya dengan tetap melandasinya  dengan ayat al-Quran dan Hadis. Misalnya, mengenai tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Plato, tujuan pendidikan itu ialah” membebaskan dan memperbaharui, lepas dari belenggu ketidak tahuan dan ketidak benaran.” Sejalan kiranya dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh tokoh muslim yaitu al-Syaibany, menurutnya tujuan pendidikan itu ialah “ perubahan yang diinginkan yang diusahakan oleh proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan pada kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tempat individu itu hidup atau pada proses pendidikan dan pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.(Moh.Haitami Salim dan Erwin Mahrus, 2009 :46)
Dari kedua tokoh yang berbeda yaitu  berasal dari tokoh Barat dan muslim, pada dasarnya konsep dari tujuan pendidikan yang mereka paparkan bahwasannya sama-sama ingin memberikan suatu “PERUBAHAN” baik itu pada diri peserta didik maupun pendidik. Kemudian pendapat dari kedua tokoh tersebut bersesuaian dengan ayat al-Quran, surah al-Baqrah ayat 201
Description: G:\a201.png



Artinya
“Dan di antara mereka ada orang yang bendo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Yang dalam hal ini, sesuai dengan pendapat dari Imam al-Qhazali yang mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan Islam itu ialah ingin mencapai kesempurnaan hidup manusia di dunia dan akhirat.
Al-Qalam ayat 4
Description: G:\a056.png
Artinya
          “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”
Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Athiyah al-Abrasy, yang menyebutkan bahawa tujuan dari pendidikan Islam itu ialah tercapainya akhlak yang sempurna. Oleh karena itu,  pendidikan yang penulis kemukakan diatas sudah meranah pada menggunakan pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shaffah, sehingga dapat diambil garis besar bahwa diperguruan tinggi Islam yang ada khususnya STAIN Pontianak sesuai dengan konsep yang dipaparkan oleh kelompok Ikhwan al-Shafa.
4.      Peserta Didik
Terkait pada peserta didik, dalam UU No 20 tahun 2003 mendefinisikan bahwa peserta didik ialah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Sejalan dengan pengertian peserta didik yang dipaprkan dalam UU No 20 tahun 2003, peserta didik ialah orang-orang yang sedang memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan maupun arahan dari orang lain.(Moh. Haitami Salim dan Erwin Mahrus, 2009 : 74)
Merujuk kembali pada konsep pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa bahwa peserta didik ialah manusia yang ingin mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Ini dibuktikan dengan konsep mereka tentang manusia yaitu manusia tersusun dari unsur fisik-biologis dan unsur jiwa-rohaniah. Maka sejatinya kedua unsur tersebut memiliki perbedaan sifat dan berlawanan kondisinya namun memiliki kesamaan dalam tindakan dan sifat aksidentalnya dikarenakan unsur fisik biologisnya, manusia berkendrungan untuk kekal di dunia dan hidup selamanya. Sedangkan unsur jiwa-rohaniah manusia berkecenderungan untuk meraih akhirat dan keselamatan disana.
Oleh karena itu, semua peserta didik(mahasiswa) perguruan tinggi Islam, khususnya STAIN Pontianak mendambakan akan hal demikian yaitu ingin mencapai kesempurnaan dunia dan akhirat. Realita yang ada pada saat ini, hampir disemua perguruan tinggi Islam sangatlah memperhatikan peserta didiknya(mahasiswa), buktinya ialah dengan mengeluarkan lulusan yang berdedikasi tinggi, intelektual, profesional, dan berakhlak. Hemat penulis mengatakan bahwa, perguruan tinggi Islam khusunya STAIN Pontianak telah mengadopsi pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa dalam hal memandang fungsi, hak dan kewajiban dari peserta didiknya(mahasiswa) dengan memperhatikan lulusan yang dikeluarkan. Dalam hal ini, menurut penulis STAIN Pontianak meranah pada pola dimensi Moderat Fundamental karena melihat dari beberapa unsur yang terkait seperti kualifikasi para pendidiknya, tujuan pendidikan yang dicantumkan dan materi ajar atau silabus yang digunakan oleh perguruan tinggi Islam tersebut lebih mencondongkan pada pola tersebut. Sehingga tidak sedikit pola-pola yang digunakan oleh pendidik (dosen) saat menyamapaikan perkuliahan selalu menengahi pendapat yang dipaparkan oleh mereka yang mereka kutip dari berbagai tokoh baik itu Yunani (barat) maupun islam (muslim). Namun tetap tidak dapat dipungkiri juga bahwa di sekolah tinggi Islam ini juga masih ada yang menerapkan pola dimensi fundamentalisme, yang tak perlu penulis paprkan dalam hal ini. Kemudian, STAIN Pontianak juga dalam hal mengintegrasikan ilmu pendidikan  meranah pada integrasi penyekat, artinya masih ada unsur penyekat yang dilakukan oleh perguruan tinggi Islam ini dalam hal penyatuan ilmu dari Barat dan Islam.
Dapat kiranya penulis gambarkan skema pola dimensi dan integrasi yang digunakan oleh perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak sebagai berikut :

Skema pola dimensi respon pemikiran yang diterapkan oleh perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak


 










Gambar 1.7

Skema pola Integrasi filsafat Barat dan Islam yang diterapkan oleh perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak



 









Gambar 1.8

Oleh sebab itu, sudah barang tentu dapat disimpulkan diperguruan tinggi Islam studi kasus STAIN Pontianak, telah mengadopsi pemikiran dari kelompok Ikhwan al-Shafa tentang pendidikan Islam, baik itu dari pemahaman tentang pendidikan, tujuan pendidikan , materi ajar dan peserta didik maupun dari segi visi dan misi dari perguruan tinggi tersebut.
Dengan demikian, penulis berharap mudah-mudahan kedepannya STAIN Pontianak kedepannya lebih baik dalam menata berbagai hal yang berkaitan dengan perkuliahan, baik itu dari segi pedidik (dosen) dalam hal kualifikasinya, materi ajarnya sehingga tidak lagi akan adanya integrasi penyekat yang diterapkan oleh STAIN Pontianak melainkan integrasi kolaborasi yang diterapkan oleh lembaga tersebut.

E.       PENUTUP
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagaimanakah sejarah munculnya kelompok Ikhwan al-Shafa. Secara kronologis kehadiran kelompok ini pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Mereka muncul pada tahun ke 4 H atau bertepatan pada tahun ke 10 M. mereka muncul di daerah baghdad tepatnya di Basra. Kemunculan mereka dilatar belakangi beberapa faktor diantaranya ialah situasi politik pemerintahan pada saat itu yang kurang baik yang tidak memihak pada masyarakat, kemudian ada keinginan dari kelompok ini untuk melakukan gerakan kebangkitan untuk memperoleh jalan yang lebih baik.
Terkait dengan pemikiran kelompok ini tentang dunia pendidikan Islam, mereka berpandangan bahwa ada beberapa hal yang mendukung jalannya roda sistem pendidikan islam itu yaitu, adanya tujuan pendidikan yang ingin dicapai, adanya pendidik yang profesional yang akan mendidik peserta didik, dan peserta didik yang akan menjadi objek sasaran pendidikan.
Kelompok ini, berpendapat bahwa tujuan pendidikan itu bukanlah yang terkait dengan sebuah tujuan individual sebagai tujuan terakhir melainkan tujuan sosiallah yang menjadi tujuan tertinggi dalam proses pendidikan itu.
Berkaitan dengan pengimplementasian dari pemikiran kelompok Ikhwan al-Shafa di perguruan tinggi Islam, jika dilihat dari konsep yang dikemukakan oleh mereka baik itu dari pandangan mereka terhadap pendidikan, tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik dan materi ajar sudah berkesesuaian dengan konsep hampir di seluruh perguruan tinggi Islam. Studi kasus pada STAIN Pontianak, dilihat dari visi dan misi lembaganya sudah berkenaan dengan tujuan pendidikan secara kontekstual yang dimaksudkan oleh kelompok ini, yaitu meningkat harkat manusia kepada tingkatan malaikat yang suci agar dapat meraih ridha dari Allah SWT. Kemudian dari segi pendidik, peserta didik, lembaga perguruan tinggi islam ini seyogyanya menjunjung tinggi akan hak dan kewajiban dari pihak tersebut dengan memperhatikan fungsi dan kedudukan masing-masing.
Dapatlah penulis simpulkan bahwa di perguruan tinggi Islam, STAIN Pontianak memenuhi kualifikasi konsep pendidikan yang dipaparkan oleh Ikhwan al-Shafa.
Segala syukur kita haturkan kepada Dzat yang maha Agung yang telah memberikan kepada penulis sebuah inspirasi yang insya Allah bermanfaat sebagai bentuk kasih sayang Dzat maha Dahsyat kepada hambanya. Serta shalawat salam kepada Rasul-Nya yang dimuliakan sebagai pintu gerbang terbukanya segala ilmu dari Dzat pembuat ilmu. Selanjutnya sebagai manusia yang pasti mempunyai salah dan lupa, penulis mengharapkan saran dan kritik dari saudara pembaca yang budiman guna kesempurnaan makalah ini dan makalah yang mendatang, serta untuk penyemangat bagi penulis khususnya dan teman-teman pembaca yang budiman umumnya.





































DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsyah Nasution. 2001. Filsafat Islam. Bandung : GAYA MEDIA PRATAMA

Moh. Haitami, Salim dan Erwin Mahrus. 2009. Filsafat pendidikan Islam. Pontianak : STAIN Pontianak Press

Moh. Haitami, Salim dan Erwin Mahrus. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Pontianak : STAIN Pontianak Press

Moh. Haitami, Salim Syamsul Kurniawan. 2009. Studi Ilmu Pendidikan Islam.Pontianak : STAIN Pontianak Press

Muhammad, Jawwad Ridla. 2002. Tiga Aliran Utama Teori Pendididkan Islam.Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogya

Muhsin, labib. 2005. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta : Al-Huda

Mustofa. 1997. Filsafat Islam. Bandung : PUSTAKA SETIA

Tim Penyusun, 2007. UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta Selatan : Transmedia Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) , http://kbbi.web.id/ (akses internet tanggal 22/04/13, pukul 19.45 Wib)


[1]Kemampuan untuk menerapkan pengetahuan atau pengalaman atau rasionalisme atau wawasan
[2] Perasaan simpati seseorang
[3]keyakinan (kepercayaan) yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama)
[4] penolakan atau perasaan tidak suka yang kuat
[5] http://kbbi.web.id/
[6]Memiliki dua konsep pemahaman yang berlainan
[7]Pengaruh yang kuat terhadap pikiran dan perasaan

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking