Sondag 26 Mei 2013

DASAR-DASAR KEPENDIDIKAN (DDK)



MAKALAH
“PENDIDIKAN NASIONAL DAN PERSATUAN NASIONAL”
( Dalam Suatu Kajian Keilmuan)
MATA KULIAH : DASAR-DASAR KEPENDIDIKAN
Dosen Pengampu: Yapandi





DISUSUN OLEH:

Hanisa (112 120 0013)
Mulyadi (111 111 0989)

SEMESTER/ KELAS: II/A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB DAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK 2013/ 2014






























“PENDIDIKAN NASIONAL DAN PERSATUAN NASIONAL”
(Dalam Suatu Kajian Keilmuan)
Oleh . Hanisa (112 120 0013)
Dan Mulyadi (111 111 0989)

A.    PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu alat untuk merubah suatu peradaban. Peradaban yang baik apabila telah dicerdaskan oleh pendidikan. Pendidikan seyogyanya sesuai dengan tujuan luhurnya yang tercantumkan dalam UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Nah ini, menjadi pertanyaan besar bagi kita, karakteristik seperti apa bangsa yang dimaksudkan oleh amanta UUD tersebut yang mencerdaskan bangsa?.
Indonesia merupakan  salah satu negara yang menerapkan sistem pendidikan disentralistik yaitu memberikan hak otonom bagi setiap daerah untuk mengembangkan sistem pendidikannya dengan tetap melihat pedoman sistem pendidikan yang ditelah ditetap oleh pemerintah pusat. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mengalami permasalahan dalam sistem pendidikannya. Yaitu dalam proses pendidikannya yang kurang memahami makna dari pendidikan itu sebenarnya.
Adapun yang mejadi fokus permasalahan yang penulis angkat yaitu sebgai berikut:
1.      Seperti apa etika dalam pendidikan nasional itu?
2.      Bagaimanakah sistem standar Nasional dan kurikulum Nasional yang baik untuk diterapkan dalam upaya meningkatkan kapasitas sistem pendidikan yang relevan?

B.     ETIKA PENDIDIKAN
Menurut Giurux dalam buku karangan H.A.R Tilaar, Kekuasaan dan Pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan  dalam rangka studi kultural merupakan suatu aktivitas yang  performatif. Artinya, proses pendidikan diarahkan kepada action dan bukan semata-mata suatu kegiatan rasional yang abstrak, tetapi menuju kepada suatu tujuan. Sekurang-kurangnya ada lima unsur dalam kegiatan pendidikan sebagai praksis performatif :
1.      Suatu tindakan pendidikan atau lebih tepat lagi suatu pertemuan pendidikan (pedagogical encounter) merupakan suatu tindakan rasional etis. Hal ini membedakan manusia dan binatang yang tindakan-tindakannya berdasarkan insting dan bukan berdasarkan pertimbangan rasional serta didasarkan kepada etika.  Hal ini merupakan betul-betul sifat manusia sebagai manusia dan bukan hewan. Tindakan yang didasarkan pada rasional artinya tindakan sebagai sebagai hasil dari analisis rasio dari kemungkinan-kemungkinan yang tersedia di lingkungan. Inilah yang disebut dengan manusia sebagai makhluk rasional etis.
2.      Tindakan manusia adalah tindakan yang bertujuan atau intensional. Tindakan atau kelakukan manusia berdasarkan hasil kajian rasionya. Manusia memilih yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan bagi kemaslahatan hidup bersama.ini artinya tindakan manusia diarahkan oleh system nilai atau norma dalam masyarakat.
3.      Tindakan manusia tidak terjadi dalam ruang yang hampa atau tanpa nilai. Tindakan manusia selalu dalam suatu wacana kebudayaan, yakni kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia merupakan hasil karya dari seluruh masyarakat Indonesia dan Bangsa Indonesia.
4.      Bertalian erat dengan kebudayaan bangsa Indonesia ialah masyarakat Indonesia yang bersatu. Masyarakat Indonesia ialah masyarakat yang pluralis dengan kebudayaan yang beraneka ragam.
5.      Masyarakat Indonesia yang pluralis tersebut ialah sepakat seperti yang dicetuskan melalui Sumpah Pemuda tahun 1928, untuk mewujudkan suatu bangsa atau lebih tepat lagi Negara bangsa Indonesia.
Urain mengenai tindakan manusia serta pertemuan pedagogis(education encounter) menunjukan bahwa kekuasaan Negara haruslah mempunyai legitimasi moral. Tanpa hal tersebut maka kekuasaan akan berdiri sendiri dan dapat saja tanpa batas. Magnis-Suseno menunjukan ada tiga sumber legitimasi moral dalam Negara.
1.      Pandangan Theisme yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas.
2.      Pandangan Machiavelli dengan kekuasaan hamper tak terbatas dari Negara yang dapat menggunakan kekuasaannya karena dihalalkan oleh tujuan.
3.      Konsep Thomas Hobbes yang mengakui kebebasan mutlak manusia namun diperlukan hukum-hukum untuk mengaturnya. Dari konsep Thomas Hobbes inilah lalu dikembangkan kembali menjadi konsep-konsep John Locke, Rousseau, Stuart Mill dalam kontak sosial.
Held sebagaimana dikutip oleh Francis Wahono dalam Kekuasaan dan Pendidikan menyatakan adanya empat jenis paham Negara yaitu :
1.      Paham Liberalisme
2.      Paham Demokrasi Liberal
3.      Paham Marxisme
4.      Paham Sosiologi Politik
Paham liberal seperti yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes melihat manusia mempunyai kebebasan sejak dilahirkan. Kebebasan itu menurut Jhon Lock mengandung kecendrungan sosial yang kuat untuk bersatu. Inilah yang melahirkakl. kontak sosial dalam paham filsafat politik.  Paham demokrasi liberal mengutamakan persoalan jaminan kemerdekaan individu dan pertanggung jawaban politik terhadap kemerdekaan serta hak-hak asasi warga negara. Pandangan Marxisme mempersoalkan struktur kelas dan kekuasaan yang dimiliki oleh kelas yang berkuasa. Sedangkan pandangan sosiologi politik menekankan kepada mekanisme kelembagaan negara dan sistem negara kebangsaan. Selanjutnya, keempat jenis paham kenegaraan itu dirangkum oleh Wibowo atas dua kategori, yaitu Pluralisme dan Marxisme. Dua kategori pertama dari Held dirangkum dalam negara pluralis di mana kekuasaan dalam masyarakat sangat pluralistis sehingga dapat membatasi kekuasaan negara. Sedangkan kategori 3 dan 4 digolongkan pada paham Marxisme di mana lembaga-lembaga sentral digunakan olehg kelompok borjuis untuk melestarikan kekuasaannya. Pendapat ini diperkuat dengan pandangan Marxis yang menganggap negara mempunyai otonom sehingga tidak dapat digunakan oleh kelompok tertentu, seperti kelompok borjuis dalam melaksanakan kekuasaannya.
a)      Dasar Etika Pendidikan Nasional

Globalisasi sebagai sumber kekuasaan
Orientasi Advokasi
Orientasi Legitimasi
Kekuasaan
pendidikan
Kekuasaan
Negara
 







                  Pertemuan-pertuman
                                pedagosis
......


                 (education encounter)
Dasar Moral Pancasila
“ agama/kepercayaan, adat istiadat, kiebudayaan Indonesia yang Bhinneka

 








Dasar etika pendidikan nasional tidak lain ialah moral ncasila. Nilai-nilai moral Pancasila merupakan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dari kebudayaan Indonesia yang Bhinneka. Sumber-sumber nilai dalam kebudayaan tersebut dapat berasal dari agama/kepercayaan, adat-istiadat maupiun dari nilai-nilai baru yang datang dari luar tetapi yang cocok bagi kebutuhan kelangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Diatas dasar moralitas Pancasila tersebut bertumpu dua jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan pendidikan dan kekuasaan Negara. Dalam pertemuan-pertemuan pendidikan (education encounter) interaksi antara dua jenis kekuasaan harus terjadi secara berimbang. Dengan kata lain tujuan pendidikan sebagai pemberdayaan individu Indonesia terjadi dalam situasi-situasi masayarakat dan bangsa Indonesia yang menginginkan persatuan serta kebanggaan sebagai warga Negara Indonesia.
Dalam system pendidikan liberal, meskipun dia menghormati akan hak asasi manusia, kebebasan manusia tetapi system tersebut tidak melihat kepada kenyataan bahwa manusia hidup bersama dalam suatu masyarakat. Kehidupan bersama dalam mkasyarakat Indonesia yang bhinneka meruapakan tantangan-tantangan kemanusiaan yang memerlukan sikap rasional serta moral Karena meminta pertimbangan-pertimbangan toleransi yang tinggi.
Dalam system pendidikan yang otoriter tidak ada tempat bagi pendidikan yang menghormati kebebasan individu. Yang ada hanyalah kekuasaan Negara untuk menuntut setiap anggotanya menjadi warga Negara yang tunduk kepada ideology Negara tanpa reserve. Hasilnya ialah pendidikan tanpa etika karena hanya semata-mata bersifat pelaksanaan kekuasaan mutlak Negara untuk mengembangkan warga Negara yang baik menurut persepsi Negara. Baik untuk Negara belum tentu baik untuk kemanusiaan.
Praksis pendidikan  dengan bentuk aktivitas yang performatif tentunya menolak konsep pendidikan ototoriter. System pendidikan ototoriter mempradugakaan tidak adanya tindakan yang performatif, melainkan tindakan-tindakan mekanistis yang dikendalikan oleh mesin besar, yaitu mesin kekuasaan Negara. Sebalikanya, suatu system pendidikan yang semata-mata memberikan kebebasan yang tdiak terbatas bagi perkembangan manusia adalah tidak realistis karena manusisa tidak dapat hidup terisolasi dari mansuia lain. Terlebih lagi dalam dunia yang mengglobal dewasa ini perlu kerjasama sesama, pertama-tama dengan masyarakat di lingkungannya. Masyarakat suku bangsanya, msayarakat bangsannya, yaitu masyarakat bangsa Indonesia.
Dasar etika pendidikan nasional meruapakan suatu keseluruhan yang dinamis. Artinya, dasar etika tersebut terus berkembang sesuai dengan pelaksanaanya dalam praksis. Pendidikan sebagai performatif praktis mengandalkan etika yang dinamis keran tergantung kepada hasil karya, pelaksanaan prinsip-prinsip pendidikan yang bermoral dalam kehidupan bersama. Dasar-dasar etika pendidikan nasional, seperti juga pancasila, mempunyai sifat akuntabilitas yaitu keterujiannya dalam mengahadapi masalah-masalah social –budaya dalam masyarakat Indonesia. selanjutnya etika pendidikan nasional bukanlah narasi besar mengenai system pendidikan Nasional. Sebagaimana dasar-dasar etika tersebut bersifat dinamis maka juga etika pendidikan nasional perlu diuji dalam pelakasanaan pertemuan-pertemuan pedagogis dalam wadah kebhinekaan kebudayaan Indonesia.

b)     Etika Pendidikan Nasional dan Moral Pancasila
Seperti yang dirumuskan oleh Daoed joesoef, pendidikan nasional kita perlu melihat trend perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia di masa depan. Dengan demikian, kita dapat mengatur langkah-langkah dalam proses pendidikan maupun dalam menyusun strategi pengembangan pendidikan nasional yang mengacu kepada masalah-masalah yang dihadapi oelh bangsa Indonesia di masa depan.pendapat ini menujukan bahwa perlu intensionalitas proses pendidikan di Indonesia agar kita menyadari tujuan dan arah bangsa ini. Menurut Magnis-Suseno, moral adalah tolak ukur untuk menetukan benar salahnya sikap dan tingkah laku manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Ada tiga unsur pokok dalam moral yaitu :
1.      Tolak ukur
2.      Sikap dan tindakan yang baik atau salah
3.      Perbuatan yang tidak lain adalah nilai-nilai pancasila
Ini lah nilai yang dihayati oleh manusia Insonesia. Norma-norma bersifat husus dan umum. Norma-norma khusus yang berlaku dalam situasi-situasi tertentu, misalnya dalam suatu permainan. Norma-norma umum yang berlaku untuk lingkungan yang luas. Dalam suatu masyarakat, lingkungan kehidupan berbangsa dan bertanag air. Norma-norma umum itu bersifat
1.      Norma-norma sopan-santun’
Norma-norma yang dimaksud misalnya dalam kehidupan keluarga, adat istiadat dan sopan santun dalam masyarakat kita. Masing-masing suku bangsa kita memiliki norma-norma sopan santun yang mungkin berbeda dengan bangsa lain.
2.      Norma-norma hokum
Adapun norma hokum yang dimaksud ialah norma yang harus ditaati oleh anggota masyarakat atau warga Negara. Negara kita adalah Negara hokum, artin yha semua warga Negara harus tunduk dibawah hokum tanpa kecuali.
3.      Norma-norma moral
merupakan hak miliki yang khas manusiawi. Hanya manusia yang mengenal norma-norma moral dengan adanya norma tersbut maka seseorang mewujudkan kemanusiaannya. Diantara jenis-jenis norma umum ini norma moral yang tersulit dan merupakan miliki manusia perorangan.
Sebagai warga Negara yang pluralis wajib mengenal bahkan bersikap dan bertindak sesuai dengan tiga jenis norma umum tersebut.  mengenal Masyarakat Indonesia  mengenal berjenis-jenis suku, adat istiadat, agama yang masing-masing  mengenal susunan nilai-nilai moral yang perlu diketahui dan dihormati oleh setiap warga Negara. Inilah yang disebut sikap toleransi yang diperlukan dalam masyarakat yang pluralistik. Norma moral pancasila telah mengatur kehidupan bersama masyarakat Indonesia yang majemuk, moral pancasila mengatur bagaimana sikap toleransi dikembangkan dalam masyarakat untuk mengatasi berbagai jenis diskriminasi. Diskriminasi dapat terjadi dalam hubungan  antar etnis, hubungan agama yang pluralistik dan lain-lain.
Ada dua hal yang merupakan masalah-masalah pokok pengembangan toleransi dalam masyarakat Indonesia, yaitu :
1.      hubungan antar agama.
2.      hubungan antar agama dan Negara.
Menurut Th. Sumatrana, tumbuhnya kesadaran beragama meliputi empat hal yaitu.
Pertama, kesadara akan pluralism masyarakat dan pluralism hidup beragama. Sikap hidup yang diperlukan dalam kondisi pluralism adalah sikap hidup yang dialogis dan penuh toleransi.
Kedua, tugas misi dan dakwah merupakan bagian integral dari setiap agama. Konflik dan kekerasan antar agama pada hakikatnya bertentangan dengan tujuan misi dan sudah pasti bersifat kontra produktif terhadap umat dan masyarakat.
Ketiga, pertemuan antar agama terkait erat dengan tuntutan hak asasi manusia. Semua agama harus lebih menempatkan manusia-manusia sebgai pusat yaitu pengabdian nilai-nilai agama dalam perspektif humanisme transcendental.
Keempat, agama-agama tidak melakukan misi yang bersifat kuantitatif  ekstensif tetapi kepada misi kualitatif intensif dari para penganutnya. Dalam kaitannya dengan pemupukan sikap toleransi antar umat beragama, sangat menarik apa yang dikemukakan oleh Mochtar Pabottinggoi mengenaio hubungan Negara dengan agama. Menurut beliau tanpa terperangkap dalam pemikiran sekularisasi, pemisahan agama dari Negara ialah bagian yang tidak terpisahkan dari rasionalitas politik demokrasi.
               Ada tiga karakteristik pertemuan pedagogis yaitu :
1.      Dalam pertemuan pedagogis terjadi suatu hubungan yang khusus bdari si pendidik dengan peserta didik yaitu suatu relasi untuk memberdayakan. Relasi pemberdayaan peserta didik tersebut maksudnya untuk menjadikan peserta didik sebagai khas manusia (manusia ialah Homo Potent).
2.      Dalam pertemuan pendidikan terjadi relasi kewibawaan yang sifatnya “diminishing  artinya hubungan yang seakan-akan menempatkan si pendidik sebgai seorang yang mempunyai suatu kelebihan karena pengalamannya yang akan membimbing peserta didik agar dapat mengambil keputusannya dan memilih pilihan yang terbaik berdasarkan nilai-nilai moral.
3.      Pertemuan pedagogis yang bersifat advoktif, artinya menggairahkan peserta didik untuk berbuat sesuatu yang baik. Dalam hal ini, si pendidik akan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mengambil pilihan moral terbaik. Nilai-nilai moral Pancasila merupakan suatu pandangan hidup yang mengatur semua warga Negara termasuk para pemimpin, baik formal maupun informal di Indonesia.

C.    STANDAR NASIONAL DAN KURIKULUM NASIONAL
Penentuan system pendidikan nasional srta sarana untuk mencapai tujuan sistem tersebut melalui kurikulum nasional, tentunya tidak bertentangan dengan kekuasaan pendidikan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pasal-pasal terdahulu.
1.      Standardisasi
Dalam sistem pendidikan kita sentarlistik, kita mengenal berbagai jenis standar untuk melaksanakan mengokohkan system sentralistik tersebut. segala sesuatu ditentukan oleh kekuasaan Negara, yang ditopang oleh birokrasi yang kaku, peraturan-peraturan yang terpusat sesuai dengan kebutuhan daerah. Mekanisme kontrol dari pusat dibangun begitu rupa sehingga tidak ada ruang gerak untuk pengambilan keputusan pada tingkat kabupaten atau provinsi. Sistem pendidikan seperti suatu mesin yang besar yang digerakan dari pusat dan lembaga-lembaga pendidikan di daerah merupakan sekrup-sekrup kecil yang berputar sesuai dengan keinginan pemerintahan pusat. Salah satu ukuran standarisasi yang ditentukan oleh kemauan pemerintahan pusat ialah melalui ujian terpusat yang terkenal itu. Kita mengenal berbagai jenis ujian pusat dari tingkat SD sampai pendidikan tinggi. EBTANAS yang telah dihapus tersebut telah digunakan bertahun-tahun, ujian dari pemerintahan pusat melalui berbagai standar yang telah ditetapkan telah dilaksanakan juga dalam jangka waktu yanga sangat panjang. seperti yang telah diuraikan sebelumnya, proses pendidikan yang demikian itu hasilnya ialah pembodohan rakyat atau proses stupidifikasi. Lebih jauh lagi, proses komoditifikasi pendidikan bahkan sudah memunculkan kapitalisme pendidikan karena pendidikan  tidak diarahkan kepada kebutuhan rakyat banyak tetapi kebutuhan segelintir kelompok elit di Jakarta.
Proses stupidifikasi dari system pendidikan yang sentralistik ditopang pula oleh berbagai system dalam pelaksanaannya seperti kurikulum nasional yang beelaku untuk seluruh jenajang pendidikan di seluruh tanah air. Meskipun akhir-akhir ini dibicarakan mengenai muatan local dalam kurikulum tetapi nyatanya hal tersebut hanya merupakan isapan jempol karena tidak ada rencana yang matang dalam pelakasanaannya.
2.      Kurikulum
Seperti yang kita ketahui bahwa kurikulum merupakan sarana dari standar yang kita inginkan dan standar tersebut ditentukan oleh kekuasaan Negara. Barangkali letak permasalahannya bukan kepada standar itu sendiri sebab standar merupakan suatu keharusan yang dimiliki oleh suatu system dan oleh sebab itu, Negara mempunyai kekuasaan untuk mejaga agar standar tersebut tidak dilewati. Yang mejadi permasalah juga ialah  bagaimana standar tersebut dilaksanakan melalui kurikulum. Penyusunan kurikulum meminta pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan tekhnis agar dalam kurikulum tidak tersembunyi apa yang disebut The Hidden Curiculum,yaitu unsur-unsur kekuasaan yang tidak kelihatan dari Negara yang memasuki system pendidikan nasional.
3.      Pengalaman Negara Lain
Negara yang cukup mempunyai pengalaman dalam reformasi pendidikannya sesuai dengan pandangan demokrasi sehingga masalah pendidikan merupakan tugas dari Negara bagian (states) ialah Amerika Serikat. Sebagai Negara Federal yang demokratis, pendidikan di Negara ini ditangani oleh tiga lembaga yaitu pemerintahan federal, pemerintahan Negara bagian dan pemerintahan lokal. Dengan pembagian kekuasaan dari ketiga pusat pemerintahan boleh jadi mengurangi kontol dari pemerintah federal terhadap mutu pendidikannya.
Gerakan standarisasi pendidikan nasional merupakan isu politik. Sejak itulah masyarakat Amerika lebih menyadari bahwa pendidikan dan politik memang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ada empat perkembangan mengapa kekuasaan politik serta kekuasaan pendidikan saling bertautan.
1.      Budget pendidikan yang dikeluarkan baik oleh pemerintah federal ataupun pemerintah negara bagian semakin lama semakin besar. Alokasi budget tersebut merupakan keputusan politik baik pada tingkat pemerintah federal di Washington D.C. maupun dinegara-negara lainnya.
2.      Kebijakan pendidikan selalu akan menyangkut masalah nasional. Kita lihat ketika peluncuran Sputnik yang berhasil oleh Uni Soviet telah menggegerkan masyarakat Amerika Serikat yang merasa tertinggal dari tekhnologi Uni Soviet.
3.      Masalah pendidikan menjadi bahan kontrol dari tingkat-tingkat pemerintahan. Hal ini mudah dimengerti karena budget yang semakin besar yang dialokasikan terhadap pendidikan. Kekuasaan pemerintah federal, pusat, negara bagian serta pemerintahan loka menuntut adanya kontrol atau campur tangan kekuasaan politik dalam menajemen pendidikan.
4.      Masyarakat menyadari bahwa keputusan-keputusan pemerintah sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan anak-anaknya.
Dalam perkembangan campur tangan pemerintah federal dan pemerintahan negara bagiandalam peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu arus balik dari pemerintahan federalisem yang terkenal memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada warga negara untuk menentukan pendidikannya sendiri.
Sejauh ini, kita lihat bahwa standar sebagai sarana pengendalian mutu yaitu ukuran-ukuran untuk mengetahui atau mengontrol kualitas pendidikan. Namun standar baru merupakan salah satu langkah dari upaya peningkatan mutu. Menurut Diane Ravitch, ada tiga jenis standar yaitu :
a.      Standar isi
b.      Standar penguasaan atau performance
c.       Standar sumber-sumber belajar (Oppertunity To Learn, OTL)
Standar isi berkaitan dengan deskripsi ilmu pengetahuan atau keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari oleh siswa. Standar penguasaan atau Performanse Standard berkenaan dengan kemampuan penguasaan bahan yang telah diajarkan.
4.      Penyusunan Kurikulum
Perkembangan penyusunan kurikulum di Amerika Serikat dapat digolongkan kepda tiga desain yaitu :
1.      Subjeck Centered, yaitu yang terpusat pada mata pelajaran.
2.      Learner Centered, yaitu yang berpusat kepada pembelajar.
3.      Problem Centered, yaitu yang berpusat kepada masalah.
Dalam pengembangan kurikulum terutama dalam mengahadapi masa depan dikenal teknik futurisme untuk menghadapi masa perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di dunia global. Teknologi futurisme tersebut meliputi berbagai teknologi yaitu :
1.      Simulasi
Dalam ramalan simulasi ini, digunakan model-model dari hukum-hukum lingkungan, sosial, fisik yang menentukan msa depan.
2.      Peramalan Trend
Ramalan mengenai Trend, dengan melihat perubahan-perubahan sosial pada masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Dengan analisis kejadian-kejadian tersebut dapat diramalkan bentuk kurikulum pendidikan masa depan.
3.      Peramalan intuitif
Ramalan-ramalan intuitif berkaitan dengan kemapuan untuk menggambarkan masa depan berdasarkan intuisi. Suatu contoh, penekannan kepada sains dan matematik dilihat kepada kemajuan teknologi yang sangat pesat dalam masyarakat dunia.
4.      Prosedur Delphi
Dalam teknologi ini, dapat kita ketahui dari pakar yang berkumpul untuk menyatakan pandangannya mengenai masa depan sesuai dengan kepakarannya. Dari kumpulan pendapat dari para pakar tersebut dapat disusun suatu bentuk kurikulum yang diinginkan untuk masa depan.
5.      Penulisan skenario
Skenario tersebut dapat didasarkan kepada kejadian-kejadian masa kini dan trend yang diramalkan akan terjadi.
6.      Analisis kekuatan sosial
Dan akhirnya ramalan analisis kekuatan-kekuatan yang terjadi dalam masyarakat dewasa ini ditarik suatu kemungkinan pengaruhnya terhadap kurikulum sekolah masa depan.
Demikianlah, berbagai trend pemikiran mengenai penyusunan kurikulum masa depan yang banyak kemungkinan sehingga memerlukan pakar atau ahli di dalam penyusunannya.
Desain
Penekanan Dalam Kurikulum
Dasar Filsafat
Sumber
Tokoh / Pengajar
I
Berpusat pada mata pelajaran (Subject design)
1.      Mata pelajaran (subject centered)
Mata-mata pelajaran terpisah
Essensialisme, Perenialisme
Sains, Ilmu Pengetahuan
Harris, Hutchins
2.      Disiplin ( discipline design)
Disiplin seperti matematika, biologi dan sebagainya
Essensialisme, Perenialisme
Ilmu pengetahuan dan sains
Bruner, Phenix, Schwab dan Taba

3.      Bidang luas (broad fields design)
Mata-mata pelajaran interdisiplin
Essensialisme, progresivisme
Ilmu pengetahuan dan sains
Broudy dan Dewey
4.      Kolerasi (corelation design)
Mata-mata pelajaran terpisah, hubungan antara disiplin dengan batas-batas yang jelas
Essensialisme, progresivisme
Ilmu pengetahuan dan sains
Broudy dan Dewey
5.      Proses (process design)
Pengetahuan prosedural berbagai disiplin
Progresivisme
Psikologi dan ilmu pengetahuan
Adams, beyer, Dewey dan Papert
II
Berpusat pada pembelajar (Learner Centered)
1.      Berpusat pada anak
Minat dan kebutuhan anak
Progresivisme
Anak
Dewey, Kilpatrick dan Parker
2.      Pengalaman
Pengalaman dan minat anak
Progresivisme
Anak
Dewey, Rugg dan Shumaker
3.      Radikal
Pengalaman dan minat anak
Rekonstruktionisme
Anak, masyarakat
Freire, Habermas, holt dan Illich
4.      Humanistik
Pengalaman, minat anak, kebutuhan pribadi dan kelompok
Rekonstruktionisme dan Existensialisme
Psikologi anak, masyarakat
Combs, Fantini, maslow dan Rogers
III
Berpusat pada masalah (problem centered)
1.      Situasi kehidupan
Masalah-masalah sosial dan kehidupan
Rekonstruktionisme
Masyarakat
Spencer, Stratemeyers, Forkner dan McKin
2.      Masalah inti (core design)
Masalah sosial
Rekonstruktionisme progresivisme
Anak, masyarakat
Albert dan Alberty, Faunce dan Bossing
3.      Masalah sosial, Rekonstruktionisme
Fokus pada masyarkat dengan masalahnya
Rekonstruktionisme
Masyarakat dan kebenaranabadi
Apple, Brameld, Couns, Ruggs dan Shanne

Tabel 1.1
Tabel diatas menunjukan perkembangan desain penyusunan kurikulum beserta jenis-jenis desainnya, penekanan dalam kurikulum, latar belakang filsafat, sumber-sumber penyusunan kurikulum dan para pakar yang menganjurkan desain-desain tersebut.

5.      Standar dan Kurikulum di Indonesia
Demikianlah, telah kita lihat seluk beluk pelaksanaan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas serta penyusunan kurikulum dalam masyarakat yang pluralis. Apa yang dihadapi oleh Amerika Serikat sedikit banyak bersamaan dengan apa yang dihadapi oleh indonesia. Suatu pelajaran yang dapat kita ambil dari pengalaman Amerika yaitu suatu trend kembalinya kekuasaan pemerintah federal (pusat) dalam mengendalikan  pendidikan untuk meningkatkan mutu. Selain itu, pendidikan merupakan faktor yang sangat ampuh dalam mengikat rasa persatuan masyarakat dan bangsa.
Dalam rangka pelaksanaan otonomisasi pendidikan sejalan dengan otonomi daerah kita lihat banyak sekali hal yang perlu dipersiapkan dan dilakukan. Para ahli kurikulum perlu kita persiapkan agar standar nasional dapat dijabarkan dengan baik pada tingkat provinsi, kemudian pda tingkat kabupaten/kota dan akhirnya penjabaran oleh masing-masing sekolah. Sudah dap[at diduga bahwa kurikulum nasional sangat minim dan fundamental isinya karena akan dijabarkan lebih lanjut pada tingkat-tingkay unit pemerintahan dibawahnya semapai tingkat sekolah. Demikianlah pula dengan pengusaan isi kurikulum atau performance tentunya ada asesmen yang akan dilakukan baik oleh pemerintah pusat, provinsi maupun sekolah.
Dan akhirnya, sumber-sumber belajar terutama akan ditangani pada tingkat sekolah. Disinilah letak reformasi manajemen pendidikan yaitu manajemen yang berbasis sekolah. Sebab pada akhirnya segala kegiatan belajar mengajar, segala upaya utnuk meningkatkan mutu pendidikan melalui standar yang telah disepakati merupakan pekerjaan sekolah.  Peran dan fungsi kepala sekolah dalam hal ini sangatlah diutamakan sebagai sang administrator pendidikan di lapangan.
Standar
Organisasi
Pemerintahan pusat
Provinsi
Kabupaten/kota
sekolah
I.                    Isi (Contents)
II.                 Penguasaan (performance)
III.               Sumber (Opportunity To Learn /OTL)





Tabel 1.2
Digambarkan pekerjaan rumah yang harus kita lakukan dalam penyusunan standar dan kurikulum yang menjadi tugas masing-masing negara dan lembaga (pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten/ kota  dan sekolah).
Dalam perkembangan mencapai standar yang tinggi serta kurikulum yan didesain menurut perspektif-perspetif yang baru, kita diingatkan oleh pakar mengenai bahaya yang sedang menimpa dunia pendidikan. Bahaya ini berasal dari perkembangan faham Neoliberalisme dan Neokonservatisme di dunia ini. Faham Neoliberalisme menekankan kepada kekuasaannegara yang lemah (soft state) segala sesuatu dipulangkan hak privat. Faham Neokonservatisme menginginkan adanya neagra yang kuat dan segala sesuatu dikembalikan kepada publik. Liberalisme dan globalisme mempunyai tendensi untuk memperlemah kekuasaan negara. Akibatnya, dalam dunia pendidikan  ada empat kecenderung yaitu :
1.      Sistem pendidikan mengacu pada sistem ekonomi pasar bebas, artinya memberikan tempat yang seluas-luasanya kepada masyarakat atau kekuatan pasar.
2.      Nilai-nilai dalam masyarakat seperti adat-istiadat, keluarga menjdai lemah dan disertai pula oleh merosotnya patriotisme.
3.      Terlalu menekankan kepada standar untuk mempertajam daya kompetitif agar dapat bersaing di pasar bebas.
4.      Pendidikan disesuiakan kebutuhan bisnis dan industri.
Faham Neokonservatisme ini berkembang dengan pesat diberbagai negara dan terkenal sebagai aliran Thatcherisme dan Reaganisme. Kedua aliran ini bertendensi meminimalkan campur tangan pemerintah dan memberikan tekanan kepada upaya-upaya privatisasi.

D.    KESIMPULAN PEMBACA
Dalam buku Kekuasaan & Pendidikan Suatu tinjauan dari Perspektif Studi Kulotural, karangan H.A.R Tilaar pada subjudul Etika Pendidikan  Nasional dan Standar Nasional dan Kurikulum Nasional membicarakan tentang sebuah kajian konsep  pendidikan yang menerapkan tentang pendidikan diharuskan mementingkan nilai-nilai moral atau etika dan sebuah konsep tentang sebuah standar dan kurikulum pendidikan yang tepat sasaran atau dengan kata lain berkesesuaian dengan keadaan. Relevansi yang dimaksudkan ialah sebuah konsep kurikulum yang mengedepankan nilai-nilai progresif dan transformatif dalam pendidikan, sehingga sebuah tujuan luhur yang diamanatkan dalam UUD 1945 itu tercapai dengan sempurna.
Pada sub bab Etika Pendidikan Nasional dipaparkan mengenai bagaimana sebuah pendidikan itu diharuskan menanamkan nilai-nilai etika moral di dalamnya. Karena dengan menanamkan niali-nilai tersebut maka tujuan pendidikan akan tercapai yaitu menghendaki suatu perubahan. Perubahan yang dimaksud ialah memanusiakan manusia, menjadikan manusia (peserta didik) berakhlak mulia. Juga dipaparkan mengenai nilai-nilai etika moral itu ialah sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang luhur.
Kemudian, pada sub bab selanjutnya yaitu Standar Nasional dan Kurikulum Nasional memaparkan tentang bagaimana sebuah  standar nasional itu disusun secara melihat kesesuain ketercapaiannya selanjutnya kurikulum yang dimaksud ialah dalam penyusunan kurikulum hendaknya mempertimbangkan beberapa hal yaitu prinsip relevansi artinya menyesuaikan pada perkembangan dunia pendidikan dan prinsip progresifisme yaitu sebuah spekulasi kedepan berkaitan dengan kesesuaian pada masa depan, Kemudian prinsip transformatif yaitu berupa prinsip yang menekankan pada nilai-nilai perubahan yang menyesuaikan pada masa depan.
Penulis berpendapat bahwa, buku ini sangat baik untuk dibaca dan dikaji oleh calon pendidikan dan para pendidik untuk menambah khazanah keilmuannya dibidang kependidikan dan sebagai suatu kajian untuk menerapkan sistem pendidikan yang menekankan nilai-nilai etika moral dalam pendidikan dan sebagai suatu pedoman kajian dalam melakukan penyusunan standarisasi kurikulum Nasional yang menekankan kepada konsep relevansi dan progresivisme serta transformatifisme.

E.     PENUTUP
Dengan demikian pada hakikatnya pendidikan merupakan suatu alat untuk mempersatukan bangsa dan negara karena dengan pendidikan manusia akan tercerahkan dengan mengetahui nilai yang terkandung di dalamnya yaitu nilai-nilai kebersamaan, keberagaman dan kesetaraan.
Etika pendidikan Nasional yaitu tercermin pada dasar
1.       Etika pendidikan Nasional
2.      Etika pendidikan Nasional dan moral Pancasila
Kemudian Standar Nasional dan kurikulum Nasional yaitu terdiri dari :
1.      Standarisasi
2.      Kurikulum
3.      Pengalaman negara lain
4.      Penyusunan kurikulum
5.      Standar dan kurikulum di Indonesia.
Segala syukur kita haturkan kepada Dzat yang maha Agung yang telah memberikan kepada penulis sebuah inspirasi yang insya Allah bermanfaat sebagai bentuk kasih sayang Dzat maha Dahsyat kepada hambanya. Sertashalawat salam kepada Rasul-Nya yang dimuliakan sebagai pintu gerang terbukanya segala ilmu dari Dzat pembuat ilmu. Selanjutnya sebagai manusia yang pasti mempunyai salah dan lupa, penulis mengharapkan saran dan kritik dari saudara pembaca yang budimanguna kesempurnaan makalah ini dan makalah yang mendatang, serta untuk penyemangat bagi penulis khususnya dan teman-teman pembaca yang budiman umumnya.





























DAFTAR PUSTAKA

H.A.R, Tilaar. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang : IndonesiaTera










































Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking