Sondag 16 Junie 2013

Model Kurikulum




BAB I
PENGEMBANGAN KURIKULUM MODEL ROGERS
OLEH. MULYADI dkk

A.    Latar Belakang
Kurikulum secara umum didefinisikan sebagai rencana (plan) yang dikembangkan untuk memperlancar proses belajar dan mengajara dengan arahan dan bimbingan sekolah serta anggota stafnya.
Pengambangan kurikulum merupakan bagian yang esensial dalam proses pendidikan. Sasaran yang ingin dicapai bukan semata-mata memperoduksi bahan pelajaran melainkan lebih ditikberatkan untuk meningkatkan kualiats pendidikan.
Kegiatan pengembangan kurikulum sekolah memerlukan model yang dijadikan lambing teroritis untuk melaksanakan suatu kegiatan. Model atau konstruksi merupakan ulasan teroritis tentang suatu konsepsi dasar. Dalam makalah ini akan dikemukakan beberapa model pengembangan kurikulum, yang hendaknya bias diperguanakn untuk mengembangkan kurikulum menuju proses belajar mengajara untuk mencapai dan meningkatkan kualitas pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Seperti apa pengembangan kurikulum?
2.      Bagaimana pengembangan kurikulum Carl Rogers?
3.      Apakah ada kelemehan dari penegembangan kurikulum Carl Rogers? Jika ada, jelaskan !
C.     Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengembangan kurikulum
2.      Agar dapat mengetahui pengembangan kurikulum Carl Rogers
3.      Untuk mengetahui kelemahan dari penegembangan kurikulum Carl Rogers.
BAB II
MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM ROGER’S

A.    Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai perangkat yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan anak secara keseluruhan, khususnya kemampuan memecahkan permasalahan yang dihadapi sehari-hari perlu dipikirkan pengalaman apa yang diperlukan oleh siswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dalam pengembangannya, kurikulum melibatkan berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki kepentingan dengan keberadaan pendidikan yang dirancang, yaitu mulai dari ahli pendidikan, ahli bidang studi, guru, siswa, pejabat pendidikan, para praktisi maupun tokoh panutan atau anggota masyarakat lainnya.
Menurut Taba apabila seseorang memahami perkembangan kurikulum sebagai tugas yang membutuhkan keteraturan, maka harus diketahui aturan ketika keputusan dibuat dan bagaimana cara keputusan-keputusan tersebut dibuat, untuk memastikan bahwa semua pertimbangan yang relevan telah tercakup dalam keputusan-keputusan tersebut.
Perkembangan kurikulum merupakan proses pembuatan keputusan yang terencana dan untuk merevisi produk dari keputusan tersebut berdasar pada evaluasi berkelanjutan. Sebuah model dapat mengatur proses.

B.     Roger’s Interpersonal Relations Model
Carl Rogers adalah seorang ahli psikologi yang berpandangan bahwa manusia dalam proses perubahan mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang  sendiri. Berdasarkan pandangan tentang manusia maka Rogers mengemukakan model pengembangan kurikulum yang disebut dengan model Relasi Interpersonal Rogers.
Meskipun Roger’s bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau psikoterapi) akan tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan  dan pengembangan kurikulum. Dia sangat terkenal dengan pendekatan “non directive” dan “humanistic” dalam pengajaran dan perencanaan kurikulum. Memang ia banyak mengemukakan konsepnya tentang perkembangan dan perubahan individu.
Menurut When Crosby perubahan kurikulum adalah perubahan individu. Menurut Muriel Crosby dalam bukunya yang berjudul “Who changes the Curriculum and?” dan diterbitkan oleh Allyn & Bacon Publishers pada tahun 1970 mengungkapkan: “perubahan kurikulum adalah perubahan manusia” (Curriculum change is people change) sangat berkait erat dengan konsep yang dikemukakan Carl Rogers melalui model pengembangan kurikulum yang berpusat pada perubahan manusia (people change).
Menurut Roger’s manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesudahnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu, ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan memperlancar perkembangan anak.
Rogers memperluas tentang terapi sebagai suatu model belajar untuk pendidikan: ia percaya bahwa hubungan antar insani yang positif memungkinkan orang tumbuh dan oleh karenanya pengajaran harus berdasarkan konsep human relation bukan pada mata pelajaran. Guru berperan sebagai fasilitator yang memiliki personal relationship dengan siswa dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Salah satu cara untuk proses itu adalah melalui proses pendidikan, sebab pendidikan merupakan upaya untuk memperlancar dan mempercepat perubahan pada diri manusia, Guru serta unsur-unsur pendidik lainnya bukan sebagai pemberi informasi atau penentu perkembangan anak, tetapi mereka hanya pendorong dan yang memperlancar perkembangan individu yang belajar.
Dengan model pengembangan kurikulum interpersonal relation ini, Carl Rogers berpendapat, bahwa kurikulum diperlakukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes dan adaptif terhadap situasi perubahan.
Kurikulum tersebut hanya dapat disusun dan diterapkan oleh unsur-unsur pendidikan serta yang lainnya yang terbuka, luwes dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperioritaskan pengalaman kelompok dalam latihan sensitif (sensitivity traming).
Ada empat tahap dalam pengembangan kurikulum model "Rogers Interpersonal Relation", yaitu:
1.      Pemilihan target dari sitem pendidikan
Di dalam penentuan target ini satu-satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif.
Selama satu minggu para pejabat pendidikan/ administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal, untuk itu diperlukan suatu tempat khusus yang agak terpisah jauh dari kehidupan kerja.
Menurut Carl Roger’s, melalui kegiatan kelompok ini mereka (peserta didik) akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut:
1)      He is less protective of his own beliefs and can listen more accurately (Tidak terlalu mempertahankan pendiriannya, sehingga dapat menerima saran orang lain).
2)      He finds it easier and less threatening to accept innovative ideas (Lebih mudah untuk menerima ide-ide pembaharuan).
3)      He has less need to protect bureaucratic rules (Mampu mengurangi kekuasaan birokratis).
4)      He communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and sub-ordinates because he is more open and less self-protective (Komunikasinya lebih jelas serta realistis terhadap atasan, teman sebaya dan bawahan).
5)      He is more person oriented and democratic (Lebih berorientasi pada sifat kemanusiaan dan demokratis).
6)      He openly confronts personal emosional frictions between him self and colleagues (Lebih terbuka untuk menyelesaikan perselisihan antar sesama anggota kelompok)
7)      He is more able to accept both positive and negative feeback and use it constructively (Lebih mampu untuk menerima saran dan kritik demi perbaikan).

2.      Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif
Pertemuan selama seminggu atau pertemuan yang diadakan dalam minggu akhir yang panjang perlu diadakan untuk saling mengenal antar sesama peserta. Dalam pertemuan tersebut diharapkan terjadi pertukaran informasi. Demikian pula guru yang skeptis dan menentang mungkin akan melihat pembaharuan dari sisi lain, sehingga kemungkinan besar terjadi perubahan sikap menerima.
Keikutsertaan guru dalam kelompok sebaiknya bersifat sukarela. Efek yang akan diterima guru-guru sama dengan para administrator pendidikan, dengan beberapa tambahan sebagai berikut:
1)      Lebih mampu untuk mendengarkan keluhan siswa.
2)      Mau menerima pembaharuan melalu peristiwa "siswa mengganggu" kelas oleh siswa tertentu dari pada siswa yang pendiam.
3)      Sangat perhatian terhadap hubungannya dengan para siswa, begitu juga yang dilakukannya terhadap isi mata pelajaran.
4)      Masalah yang timbul dipecahkan bersama dengan para siswa dan tidak melalui tindakan hukuman.
5)      Mampu mengembangkan suasana kesamaan hak dan kewajiban sehingga timbul suasana demokratis di dalam kelas.

3.      Pengembangan pengalaman kelompok yang intensif satu kelas atau unit pelajaran
Caranya mengikutsertakan satu unit kelas dalam pertemuan lima hari. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kelompok secara aktif, dengan fasilitator para guru, administrator pendidikan, dan administrator dari luar. Dengan kegiatan itu diharapkan menumbuhkan suasana hubungan yang baik antara siswa yang satu dengan yang lain. Perubahan yang terjadi pada diri siswa:
1)      Merasa bebas mengemukakan pendapatnya didalam kelas
2)      Semangat untuk belajar bertambah, karenanya timbul persaingan yang sehat untuk pandai.
3)      Memiliki tenggang rasa dalam hubungan antar siswa di dalam pergaulan sehari- hari.
4)      Tidak mempunyai rasa tertekan karena tidak mengenal istilah hukuman yang bersifat fisik.
5)      Dia hormat dan patuh pada guru maupun admistrator karena adanya wibawa.
6)      Mempunyai anggapan bahwa dengan belajar akan mampu menghadapi kehidupan masa depan.

4.      Keterlibatan orang tua dalam pengalaman kelompok yang intensif
Kegiatan ini dapat dikordinasi oleh persatuan orang tua pada masing-masing sekolah. Kegiatan kelompok berlangsung selama tiga jam tiap sore selama satu minggu atau dua puluh satu jam selama tiga hari terus menerus. Jika kemungkinan, pertemuan demikian agar berbarengan dengan pertemuan unit kelas.
Tujuan utama kegiatan ini adalah supaya orangtua, staf pengajar dan pimpinan sekolah atau administrator pendidikan lainnya dapat saling mengenal secara pribadi sehingga memudahkan pemecahan-pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan, khususnya persekolahan.
Carl Rogers juga menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran kulminasi dari model interpersonal adalah diselenggarakannya kelompok-kelompok vertical ("vertical groups") yang diikuti oleh partisipan. Perubahan kurikulum yang berhasil dapat dicapai bila ada hubungan efektif secara horizontal dan across status-role lines.
Saran Carl Rogers tersebut adalah perlunya diadakan pertemuan vertical yang mendobrak hierarki birokrasi dan status sosial. Peserta kegiatan tersebut terdiri dari dua orang administrator, dua orang pimpinan sekolah, dua orang staf pengajar dan dua orang siswa.
Menurut Rogers, kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara interpersonal. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1)      Diadakannya kelompok untuk mendapatkannya hubungan interpersonal di tempat yang tidak sibuk
2)      Kurang lebih dalam satu minggu para peserta didik mengadakan saling tukar pengalaman, di bawah pimpinan staf pengajar
3)      Kemudian diadakan pertemuan dengan masyarakat yang lebih luas lagi dalam satu sekolah sehingga hubungan interpersonal akan menjadi lebih sempurna. Yaitu hubungan antara guru dan guru, guru dengan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik dalam suasana yang akrab.
4)      Selanjutnya pertemuan diadakan dengan mengikutsertakan anggota yag lebih luas lagi, yaitu dengan mengikutsertakan para pegawai administrasi dan orang tua peserta didik. Dalam situasi yang demikian masing-masing person akan saling menghayati dan lebih akrab, sehingga memudahkan berbagai pemecahan problem sekolah yang dihadapi.

Dalam langkah-langkah tersebut, diharapkan penyusunan kurikulum lebih realistis, karena didasari oleh kenyataan yang diharapkan.
Rogers lebih mementingkan kegiatan pengembangan kurikulum daripada rencana pengembangan kurikulum tertulis, yakni melalui aktivitas dan interaksi dalam pengembangan kelompok intensif yang terpilih.

C.     Teorisasi Carl Roger’s
Carl Rogers mengembangkan pendekatannya setelah bekerja praktik dengan para individu (klien) di berbagai klinik sehingga ia mengklaim bahwa prinsip-prinsipnya telah diuji diberbagai situasi praktik. Pendekatannya tertumpu pada self-directed learning yang pertama kali dijelaskan dalam bukunya Client-Centered Therapy (1951) dan kemudian di Freedom to Learn (1969).
Orientasi rogers diklarifikasikan sebagai pendekatan kurikulum, dan publikasi-publikasi yang dilakukannya selama lebih dari satu tahun memberikan perhitungan dan pertimbangan yang mendalam dan total terhadap elemen-elemen perencanaan dan pengajaran yang diperlukan untuk mengimplementasikan pendekatannya di ruang kelas.
Secara mendetail, hal ini akan diungkapkan dalam bagian berikut ini:
1.      Major Goal/ Frame of Reference
Rogers membuat asumsi dasar bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk yang bebas dan unik, serta dapat membuat pilihan-pilihan dalam setiap situasi. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa kesadaran manusia merupakan suatu pribadi yang esensial, sedangkan kehidupan dunia internal dan tingkah laku manusia merupakan ekspresi terhadap fungsi-fungsi internal yang dapat diobservasi.
Di dalam lingkungan sekolah, terdapat berbagai fasilitas yang menempatkan:
1)      Pengembangan akal individu dalam realitas
2)      Kekuatan-kekuatan internal yang menyebabkan individu bisa bertindak
3)      Pengembangan konsep pribadi (self-concept) individu itu sendiri. (Millholm & Forisha, 1972: 98).
2.      Process/ Phrases, Teacher’s Role, Classroom Climate
Dalam pendekatan Rogers, tidaklah mungkin menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang proses pengembangan tradisional, namun sangatlah mungkin untuk memisahkan pengembangan dengan suatu keadaan fase-fase yang diyakini dan suatu penempatan fase-fase individu atau kelompok.
Fase pertama mencakup pendidik dan peserta didik dalam upaya mengmbangkan kondisi ruang kelas yang menyakinkan dan penuh keterbukaan.
3.      Curriculum Development Example
Satu hal yang perlu diperhatikan dari pendekatan kurikulum adalah jumlah dan tingkat materi kurikulum yang dihasilkan  berdasarkan materi tersebut. Pendekatan Rogers, dengan penekanannya pada student-initiated learning, tidak kondusif dengan hal itu, dan fakta menunjukkan bahwa hal itu antitesis terhadap penyebaran produksi peket-paket mengajar. Jika administrasi dan norma-norma pelaksanaan di sekolah primary dan secondary tidak leluasa dilakukan, hal itu akan membuat para pendidik sulit mengembangkan dan mengimplementasikan kelas berdasarkan pendekatan Rogers.
4.      Evaluation
Meskipun Rogers dan teorinya mendapatkan dukungan dari nilai-nilai kebebasan dan eksplorasi langsung itu sendiri dalam kepustakaan kurikulum, namun pendekatannya sangatlah filosofis.

D.    Model Pengembangan Kurikulum Rogers
Model pengembangan kurikulum rogers adalah kurikulum yang dikembangkan hendaknya dapat mengembangkan individu secara fleksibel terhadap perubahan-perubahan dengan cara melatih diri berkomunikasi secara interpersonal.
Ada beberapa model yang dikemukakan Rogers yaitu jumlah dari model yang paling sederhana sampai dengan yang komplit. Model-model tersebut disusun sedemikian rupa sehingga model yang berikutnya sebenarnya merupakan penyempurnaan dari model-model sebelumnya.
Adapun model tersebut dikemukakan sebagai berikut :
1.      Model I (Model yang paling sederhana)
Model yang paling sederhana yang menggambarkan bahwa kegiatan pendidikan semata-mata terdiri atas kegiatan memberikan informasi (isi pelajaran). Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan adalah evaluasi dan evaluasi adalah pendidikan, serta pengetahuan adalah akumulasi materi dan informasi, model tersebut merupakan model tradisional yang masih dipergunakan.
Model I ini mengabaikan cara-cara (metode) dalam proses berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dan urutan atau organisasi bahwa pelajaran secara sistematis, suatu hal yang seharusnya dipertimbangkan juga.
2.      Model II
Model ini merupakan penyempurnaan dari model I, dimana dalam pengembangannya disamping pengembangan materi dan evaluasi juga dipikirkan pemilihan metode dan penyusunan organisasi bahan pelajaran secara sistematis.
Dari model ini, akan muncul empat pertanyaan pokok bagi seorang pengajar, yaitu :
Ø  Apa yang saya ajarkan ?
Ø  Bagaimana hasil pengajaran saya ?
Ø  Bagaimana saya mengajar ?
3.      Model III
Model III menyempurnakan model II. Dalam model III memasukkan unsur teknologi pendidikan. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa teknologi pendidikan merupakan faktor yang sangat menunjang dalam keberhasilan kegiatan belajar mengajar.
Pengembangan kurikulum yang berorientasi pada bahan pelajaran hanya akan sampai pada model III. Padahal masih ada satu lagi masalah pokok yang harus diperhatikan, yaitu yang berkaitan dengan masalah tujuan.
4.      Model IV
Merupakan penyempurnaan Model III, yaitu dengan memasukkan tujuan ke dalamnya. Tujuan itulah yang bersifat mengikat semua komponen yang lain, baik metode, organisasi bahan, teknologi pengajaran, isi pelajaran maupun kegiatan penilaian yang dilakukan.

E.     Kelemahan Kurikulum Carl Rogers
Model pengembangan kurikulum ini mengutamakan hubungan antar pribadi yaitu penciptaan suasana akrab antar unsur-unsur pendidikan yang terlibat didalam pengembangan kurikulum, yaitu : administrator, pimpinan sekolah, guru-guru serta para siswa, kebaikkannya antara lain :
a.       Sedikit kemungkinan terjadinya tekanan hierarld yang bersifat menghambat, sehingga diharapkan dapat menerapkan kurikulum yang lebih besar.
b.      Masing-masing unsur pendidikan khususnya yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kurikulum, yaitu para guru tidak ragu mengemukakan pendapat dan gagasannya dalam pengembangan kurikulum
c.       Tidak timbul adanya dominasi kuat dari pihak "pusat/atas" untuk memaksakan kehendak politik di bidang pendidikan khususnya pengembangan kurikulum.
Ada tampaknya hal yang dapat dianggap sebagai tanda-tanda kelemahan / kekurangan pada model "Rogers Interpersonal Relation " dalam pengembangan kurikulum antara lain:
a.       Tampaknya tidak ada batas hubungan antara siswa dengan guru atau unsur pendidik lainnya, sehingga dikhawatirkan luntumya rasa hormat pada diri siswa.
b.      Memerlukan waktu yang lama dan sulit ditargetkan untuk penyelesaian secara tuntas dalam penyusunan kurikulum baru sebagai hasil dari pengembangan kurikulum.
c.       Memerlukan biaya yang tidak sedikit, mengingat banyaknya unsur yang terlibat sertajenis kegiatan yang dilakukan.
d.      Keterlibatan berbagai unsur pendidikan dalam proses pengembangan kurikulum tersebut, kemungkinan besar mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasiannya






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Peranan kurikulum dalam pembelajaran meliputi peranan konservatif, peranan kritis atau evaluatif, serta peranan kreatif. Peranan konservatif yaitu peranan pewarisan budaya dari generasi tua ke generasi yang lebih muda.
Peranan kritis atau evaluatif yaitu memilah kebudayaan dan mempertahankan yang baik, serta dapat mempertimbangkan kembali kebudayaan yang sudah dirasa tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan peranan kreatif  berkenaan dengan kreasi manusia menciptakan sesuatu secara dinamis yang terus berkembang selama peradaban dan pendidikan masih ada.
Berdasarkan langkah-langkah tertentu, model hubungan Interpersonal dari Rogers menitikberatkan pada kegiatan kelompok campuran.

B.     Saran
Bagi semua pelaku pembuat kurikulum. Kami harapkan mampu bersikap kooperatif dalam menyikapi perbedaan pandangan serta hubungan timbal balik antara kurikulum dan pembelajaran.









Daftar Pustaka

Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Praktek. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Abdullah. 2010. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Ahmad.  1997. Pengembangan Kurikulum. Bandung : Pustaka Setia.
Dakir. 2004. Perencanaan Dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Dimyati & Mudjiono. 2006. Belajar Dan Pembelajaran. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://aauniethea.blogspot.com/2011/11/model-model-pengembangan-kurikulum.html
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikulum:  Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2001. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.